Mulai sekarang, kuharap kalian dapat mencintai senja. Karena menjelang sore tiba, langit berubah warna menjadi jingga.
Dan ya seperti kalian tahu, Jingga itu adalah AKU.
Di awal pertemuan kita, kuharap aku akan meninggalkan jejak-jejak kerinduan seperti senja yang kedatangannya selalu dinantikan banyak orang.
Jadi mulai hari ini, dapatkah kita berteman baik?
Aku berjanji akan mengulurkan tangan kepada siapa pun itu.
Tapi maaf, kecuali kepada mereka yang sedang menangis, terkadang aku diharuskan menjaga jarak.
***
"STOP!"
Sosok gadis berambut jamur itu pelan-pelan mengayunkan langkah. Bahkan teramat lambat, mengingat sebenarnya ia sedang berkejaran dengan waktu. Angkot yang baru saja dipanggilnya, berhenti beberapa meter dari tempatnya berdiri.
"Aduh, Pak. Itu anak lelet banget ya," celetuk salah satu penumpang pria yang terburu-buru berangkat kerja.
Seorang ibu muda yang menjepit dompetnya di lengan, juga tampak tidak sabar melihat Jingga dari jendela angkot.
"Nunggu dia jalan sampe sini, bisa-bisa sayur di pasar udah jadi matengan semua di warteg, Pak."
Tak punya pilihan lain, sopir angkot pun menekan klaksonnya berulang kali. Matanya bergeser ke arah kaca mobil yang ada di atas kepalanya.
Astaga, itu manusia apa keong. Lambat banget.
"Udah Pak, tinggal aja." Penumpang yang duduk di belakang sopir, menepuk-nepuk pundaknya. "Daripada kita semua jadi terlambat ke urusan masing-masing."
Jingga baru melangkah sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya angkot yang dipanggilnya tancap gas.
Lagi-lagi ia ditinggalkan. Entah sudah berapa angkutan umum yang ia lewatkan begitu saja pagi ini.Meski tahu jika waktu yang ia miliki untuk sampai ke sekolah kurang dari lima belas menit, tak ada sedikit pun kecemasan di wajahnya.
Baru sedetik ia membatin, angkutan lain datang menghampiri. Berhenti tepat di samping Jingga dan dengan sabar menunggu responnya.
"Mau naik nggak, Mbak?" tanya sopir angkot itu, mulai bingung melihat gerak-gerik calon penumpangnya.
Jingga menganggukkan kepalanya pelan, cukup satu kali. Mungkin jika dilakukan orang lain, anggukan itu sudah beranak Pinak mencapai belasan kali.
"Bentar ya Pak," jawab Jingga kalem.
Kesan style tomboynya seketika luntur hanya dengan mendengar suaranya atau melihat bagaimana cara ia berjalan.
"Mbak, buruan dah! Penumpang udah ngomel-ngomel ini." Sopir angkot bernama Hanif itu mengedik ke belakang.
Tak kalah slow motion dari cara berjalannya, Jingga pun melangkahkan kakinya masuk angkot dengan sangat hati-hati. Hingga membuat penumpang lain mulai saling berbisik.
Gusar menunggu, sopir angkot pun terpaksa menginjak gas sebelum Jingga benar-benar duduk. Untung saja Jingga masih sempat bertumpu pada ujung kursi meski pegangannya nyaris terlepas.
"Sekolah mana, Kak?" tanya bocah laki-laki berseragam merah putih yang kini duduk di sampingnya.
"Dream High School." Jingga menjawab pelan sambil mengulas senyuman.
Untuk tersenyum pun, ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding orang biasa.
"Woaaah, itu kan sekolah elit. Kereeeeen ih, Kak. Besok kalo aku udah lulus, aku mau nyusul kakak sekolah di sana deh," katanya dengan wajah berbinar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovember
Teen FictionBagi Jingga Langit Sore, November adalah bulan yang kelabu. Bulan itu hanya mengingatkannya pada kejadian kelam 8 tahun silam. Kejadian kelam yang membuatnya mendapatkan hal ajaib. Sedikit aneh tapi nyata. Setiap kali Jingga menyentuh air mata ses...