Chapter 1 - Home sweet home

827 143 23
                                    

Survival tips no.1 :

❝  Sebelum kau memutuskan untuk hidup menyintas, tanyakan hal ini berulang kali pada dirimu sendiri : Apa kau sudah siap meninggalkan tempat tidurmu yang nyaman? 

❝  Sebelum kau memutuskan untuk hidup menyintas, tanyakan hal ini berulang kali pada dirimu sendiri : Apa kau sudah siap meninggalkan tempat tidurmu yang nyaman? ❞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SATU HARI SEBELUMNYA  :

Pagi hari dan segenap kawanannya—cahaya mentari, embun yang terperangkap di permukaan kaca, udara segar, pasangan pedestrian di novel-novel selalu digambarkan dengan mengagumkan. Dan itu benar. Meski tanpa gambaran-gambaran indah itu pun, sang pagi masih jadi satu-satunya hal terbaik yang bisa kulewati dalam satu tahun belakangan.

Mataku terbuka setelah tidur panjang. Setiap paginya tidak pernah merasa bahagia tapi cukup beruntung.

Aku selalu bangkit dari tempat tidur pukul tujuh pagi, dan harus jam tujuh. Jika melebihinya, aku bisa saja melewatkan hal-hal bagus. Sementara tidak ada gunanya jika bangun lebih awal dari patokan waktu itu, atmosfernya masih suram dan kelabu. Lagipula melakukan hal-hal berisik ketika pekarangan masih minim pencahayaan adalah tindakan yang sangat-sangat tidak dianjurkan jika masih ingin hidup. 

Setelah beranjak meninggalkan kamar, aku pergi terhuyung-huyung dengan setengah kesadaran ke lorong utama, melewati ruang-ruang kosong dan temaram yang kehilangan penghuninya. 

Pagi hari selalu tampak kelam di dalam sini meski bagian depan gedung hampir seluruhannya diselubungi oleh pembatas kaca—pasalnya gedung ini dibangun menghadap ke barat. Hal baiknya, jika siang sudah beralih ke petang, separuh dari gedung akan penuh oleh binar oranye senja yang memukau. 

Aku berhenti untuk membaca Today's-to-do-list yang kupasang di sisi pintu menuju dapur yang sekaligus merangkap sebagai ruang makan dan ruang serbaguna. Dulunya kantin—selalu ramai, sesekali dipenuhi aroma mentega dan roti, tapi lebih sering dipenuhi bau kimchi dan lantainya kotor bukan main, tapi ruangannya terkenal serbaguna. Sekarang, semua itu sudah lenyap, yang tersisa hanya fungsi 'serbaguna'-nya saja.

"Sarapan, menyirami kebun, memberi makan ayam, ck siaran, makan siang, bersih-bersih, makan malam, patroli, makan malam... memeriksa persediaan bahan bakar..." jidatku tertekuk heran, apa sih yang kupikirkan sewaktu menulis daftar tak terstruktur begini? Kenapa aku harus makan malam dua kali?

Batang leherku memanjang sungkan, menengok ke salah satu lorong gelap yang terhubung ke ruang mesin generator juga ruang penyimpanan bahan bakar. "Ugh, Aku sengaja meletakkan yang satu ini di akhir daftar supaya dilupakan ya?"

Kuperhatikan jemariku yang bergerak gemetar, "Kau lapar atau takut?"

Langkah kakiku terayun miring bergegas menuju kabinet-kabinet gantung di dinding kantin. Aku menyimpan banyak sekali stok makanan kaleng, ramen, cemilan, dan makanan instan membahayakan lainnya di sana. Untuk sarapan pagi, makanan yang paling mudah disantap adalah biskuit—sayanganya tanpa didampingi segelas susu. Perihal makanan kaleng yang tanggal kadaluarsanya sudah menjelang, bisa dipikirkan lain hari.

EUCATASTROPHE | Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang