Renjun benar-benar tertawa lepas.
Persetan dengan banyak orang yang memandangnya aneh, Renjun tidak perduli. Lagipula, ia hanya tertawa, bukan bertelanjang bulat kemudian lari mengelilingi area Kota Tua. Tertawa juga merupakan hal yang sah-sah saja dilakukan oleh siapapun dan di manapun tanpa ada undang-undang yang melarang.
Tawanya semakin lebar ketika mengingat raut kesakitan Jeno sebab tendangan yang ia ciptakan. Lagian, siapa suruh mengganggunya dan mengatai dirinya pendek. Meskipun tubuhnya terbilang kecil dari kebanyakan remaja seusianya, tapi jangan ragukan tenaga yang ia punya. Kecil-kecil tapi pedas, itu julukannya.
Tertawa sih tertawa, tapi Renjun tidak sadar kalau ia sudah melewati tempat kumpulnya Vullnetar. Pemuda itu terdiam sesaat sambil terbengong-bengong melihat sekitarnya yang terlihat asing. Namun, lamunannya tak bertahan lama karena tawanya meledak lagi. Mungkin hari ini bisa dinobatkan sebagai hari ter-receh baginya. Tawa Renjun berhenti karena mendengar bisikan orang yang melewatinya barusan, berbisik-bisik kalau ia merupakan pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Ia mengurut dada dengan hati mengucap jangan kelepasan meninju orang tadi. Bisa-bisa tujuannya berubah menjadi kantor polisi, bukan bertemu dengan Vullnetar.
Renjun memutuskan untuk berputar balik. Keningnya menyerit sambil memperhatikan sekitar. Masih terlihat asing, berarti ia harus melangkah lagi.
Sampai akhirnya ia berada di depan kafe bertuliskan 'Café Batavia'. Jarinya menjentik keras. Nah, baru ia tau ini di mana. Tapi, Renjun tidak langsung berjalan lagi untuk sampai di depan museum. Ia malah mengeluarkan ponselnya dan membuka kamera. Tujuannya adalah mengambil selfie dengan latar café yang memang terkenal estetik itu. sekitar lima foto ia ambil dan merasa puas setelah melihat hasilnya. Ada hikmahnya juga kesasar. Baru setelahnya Renjun melanjutkan langkahnya lagi.
Karena memang hari ini adalah akhir pekan, maka tempat tersebut sangat ramai sehingga menyulitkannya menemukan lokasi dari tempat berkumpulnya member Vullnetar. Renjun yang pada dasarnya belum pernah melihat mereka terpaksa mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Sooyoung, si ketua dari Vullnetar. Sooyoung langsung mengangkat panggilannya pada sambungan pertama.
"Kak Jeo, kakak di mana?"
Krasak-krusuk terdengar dari seberang, "Senja sekarang di mana?"
"Udah di depan museumnya, Kak."
"Pakai baju apa kamu?"
"Kemeja flannel merah, sama tas ransel hitam."
Setelah menyebut setelan yang ia pakai hari ini, Renjun mendengar ada yang meneriaki namanya dari arah barat. Renjun mengikuti arah suara tersebut dan menemukan seorang gadis berambut hitam panjang melambai ke arahnya. Senyumnya melebar dan segera menghampiri gadis yang ia yakini sebagai Sooyoung. Jantungnya bertalu cepat penuh rasa excited.
"Wah, ini Senja?" kata gadis lain yang menggunakan kacamata bulat. Renjun diam-diam membulatkan bibir. Gadis itu cantik sekali dengan rambut blonde-nya. Sepertinya dia dari luar negri. "Sini, Dek!"
Renjun mengangguk antusias dan segera duduk di samping gadis itu.
"Kak, kakak bule ya?" tanya Renjun polos. Sontak saja mengundang tawa dari mereka yang ada di sana. Renjun mengerucutkan bibir tanpa sadar. "Kok aku diketawain?"
"Kamu polos banget sih, dek." Gadis itu mengacak rambut hitam Renjun. "Aku Indonesia asli, kok. Rambutku cuma diwarnain jadi blonde." Tangannya beralih mencubit pipi Renjun. "Namaku Hanna."
"Oh, ini Kak Hanna. Salam kenal, Kak."
"Senja berdiri dulu, coba. Mau Kakak kenalin satu-satu sama yang lain." Itu Sooyoung yang menyuruhnya. Renjun mengangguk semangat dan berdiri di samping gadis itu. "Nah, yang paling kiri, pakai kaos navy namanya Satrio. Sebelahnya Satrio ada Angkasa. Namanya kebagusan, panggilnya Asa aja. Perempuan di sebelah Asa namanya Calaira, katanya sih dia lebih suka dipanggil Cala."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar & Senja
FanfictionFajar adalah permulaan. Senja adalah pemberhentian. Filosofi singkat tentang kedua momentum indah pada semesta, namun tersirat banyak makna di dalamnya. Tentang Fajar Anggara dan Arenza Senja, dengan campur tangan semesta dalam cerita mereka. Lee...