Bagian 6

12.2K 2.1K 638
                                    

Kak Anggara

Aku benci kakak

apasih sen?

Gak jelas

***

Bisa saja seseorang mengirimkan pesam berisi tawa, namun nyatanya orang tersebut tidak tertawa. Bisa saja seseorang mengirimkan emotikon tersenyum, namun nyatanya orang tersebut tidak tersenyum. Dan, Jeno termasuk dalam orang tersebut. Reaksi yang diberikan pada Renjun Nampak seperti orang tidak perduli, malah seperti mengejeknya. Tapi, tahu apa yang sebenarnya terjadi? Jeno langsung kalang kabut mendapati pesan dari Renjun yang mengatakan kalau si manis itu membencinya. Ibu jarinya bahkan sudah hampir menekan ikon telepon, namun diurung sebab gengsi yang segunung. Akibatnya, rasa penasaran menghantuinya selama dua jam lebih. Jeno bertanya-tanya mengapa Renjun mengirimkan pesan seperti itu padahal ia sama sekali tidak merasa membuat kesalahan. Ingatannya dipaksa mundur beberapa jam yang lalu namun nihil, ia sama sekali tidak menemukan petunjuk.

Pada akhirnya buntu. Jeno menyerah dengan rasa pening yang menderanya. Sebenarnya jika dipikir, untuk apa Jeno sepanik ini padahal ia sama sekali tak tau apa salahnya. Ini bukan seorang Jeno sekali yang merupakan pribadi yang masa bodo dengan apapun. Baru kali ini ia kalang kabut hanya karena sebaris pesan dari pemuda mungil yang baru ditemuinya tiga hari yang lalu.

Jeno akhirnya merebahkan diri setelah dua jam termenung di pinggir kasur. Ponsel sudah dimatikan tadi supaya jemarinya tetap dalam pihaknya. Mata sipit khas orang Asia itu menerawang pada langit-langit kamar yang putih bersih. Sepuluh menit kemudian, Jeno menyerah pada kantuk. Mata tersebut akhirnya terpejam perlahan.

***

Hidup sendiri merupakan salah satu kebebasan dalam jurnal hidup Jeno. Ia bisa melakukan apa saja di kamar apartment tanpa takut ditegur oleh sang Ibu. Tak terkecuali dengan bangun siang kalau tak ada kelas. Kalau masih tinggal di rumah, pasti jam tujuh pagi pintu kamarnya akan di-gedor atau langsung disiram dengan air tanpa ampun.

Sekarang jam 11 siang dan Jeno baru terbangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah melakukan peregangan singkat sehingga bunyi gemelutuk tulang terdengar. Setelahnya ia menyingkap selimut tipis dan beranjak dari tempat tidur untuk segera mandi. Cukup sepuluh menit ia butuhkan untuk kembali dalam keadaan segar. Masih dengan handuk di leher, Jeno menuju dapur untuk membuat roti bakar sebagai sarapan. Tak lupa dengan kopi instan yang hanya tinggal seduh saja tanpa membutuhkan apapun. Sebagai seorang yang pemalas, roti dan kopi harus selalu tersedia di dapur untuk menyokong perutnya untuk sarapan. Masalah makan siang, ia bisa melewatkannya dan baru akan keluar jika dirinya ingin.

Rotinya sudah jadi, begitu juga dengan kopi. Jeno membawanya ke meja makan lalu duduk di kursi. Baru ingin menggigit roti bakarnya, Jeno teringat tentang ponselnya yang sama sekali belum dicek. Terpaksa ia meninggalkan sarapannya sebentar dan mengambil ponsel berwarna hitam itu. Sembari menunggu ponselnya menyala, Jeno kembali melanjutkan sarapannya.

Notifikasi langsung membanjiri ketika ponsel tersebut sudah tersambung pada wifi. Tangan kirinya menggapai ponsel tersebut dan membuka kuncinya. Jeno langsung membuka aplikasi whatsapp. Ibu jarinya tanpa sadar melakukan scroll down guna mencari kontak Renjun. Jeno menghembuskan napas ketika melihat kalau pesannya hanya dibaca tanpa dibalas. Padahal, semalam Jeno yakin kalau Renjun akan membalas dengan kata-kata umpatan ber-casplock.

Jeno kecewa?

Bisa dibilang, iya.

Sarapannya kemudian dihabiskan dengan mata yang masih memandang percakapan singkat itu.

Fajar & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang