Mimpi 5. Bicara Banyak

22 2 0
                                    

Pelajaran Pak Nisja sudah berakhir. Dan selama dua jam pelajaran, El sama sekali tidak fokus. Hanya sedikit pengetahuan yang masuk di kepalanya. Murid-murid mulai meninggalkan kelas. Mencari tempat untuk mengistirahatkan diri sejenak, dengan bermain sepak bola di lapangan, jajan di kantin, atau menetap di kelas sambil makan bekal.

El selalu memilih opsi terakhir; makan bekal di kelas. Bersama partner sebangkunya. Makan dalam satu meja, tapi tak pernah saling berbicara. Bukan teman El yang tak mau mengajak bicara, El-lah yang malas untuk menanggapi.

"Bawa apa?"

Entah untuk ke berapa kali kalimat itu meluncur dari mulut Sanby—teman sebangku El. Selama tiga minggu bersekolah di SMK Negeri 1 Bintan, pertanyaan itu selalu dilontarkam setiap istirahat pertama tiba.

Dan seperti biasanya, El tak menanggapi. Dia langsung membuka kotak bekal, membaca doa, minum air putih sedikit, lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulut. Sanbypun melakukan aktivitas yang sama. Saat El melirik sedikit pada teman sebangkunya, kotak bekal anak laki-laki itu selalu sama setiap hari. Hanya ada lauk, nasi, tanpa ada sayurnya.

"Kamu enggak suka makan sayur?"

Pertanyaan pertama yang El lontarkan pada Sanby setelah tiga minggu duduk satu meja. Biasanya gadis berhijab itu hanya akan bicara bila ditanya. Kalau tidak, dia lebih sering merapatkan mulut.

"Suka," jawab Sanby.

Kotak bekal berwarna hijau El sodorkan ke dekat Sanby. Tangannya memindahkan sebagian sayur kangkung yang dia bawa ke kotak bekal milik Sanby. Setelah itu, kotak bekalnya kembali ditarik. Pecinta sepak bola itu kembali menikmati makanan yang dibawakan ibunya.

"Makasih," kata Sanby kemudian.

Hanya anggukan samar yang El berikan.

"Kamu kenapa pendiam banget, sih?" Sanby kembali menanyakan pertanyaan yang pernah diutarakan beberapa waktu lalu.

El meluncurkan air putih ke tenggorokan. "Saya enggak pendiam," jawabnya.

"Tapi enggak suka ngomong?"

"Enggak juga."

"Terus?"

"Karena kamu belum kenal saya aja."

"Kalau udah kenal?" Tangan laki-laki itu membereskan kotak bekal yang sudah tandas.

"Akan tau sisi lain dari saya."

"Gitu ya..."

Isi kotal bekal El juga sudah habis tanpa sisa. Setelah dirapikan, ia letakkan ke dalam tas. Energinya telah diisi dan siap mengikuti pelajaran selanjutnya. Gadis itu berharap, kenangan yang tak terlupakan, menghilang ketika pelajaran berlangsung. Rasanya kepalanya nyaris pecah setiap kali memikirkan masalah demi masalah yang belum larut saat ditinggalkan.

"Kalau gitu... mulai hari ini, aku lantik diriku menjadi temanmu." Sanby tersenyum lebar. Mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan El.

"Saya enggak bisa jadi teman yang baik," Sekelabat kejadian di SMP dulu singgah di kepalanya. "Saya enggak mau berteman akrab sama seseorang, karena saya takut."

"Takut?"

El mengangguk. "Iya. Takut nyakitin perasaan orang lagi."

Kerutan singgah di dahi Sanby. Beberapa detik kemudian, bel masuk berbunyi nyaring. El langsung mempersiapkan buku pelajaran selanjutnya di atas meja. Jika kemarin-kemarin Sanby selalu dicuekin El, hari ini ada sedikit kemajuan. Walau obrolan yang terjalin berakhir menggantung.

Obrolan singkat itu membuat rasa penasaran bermunculan di benak Sanby.

*

Si kulit bundar di oper dari satu kaki ke kaki telanjang yang berlarian di atas pasir. Setiap bola bergulir dan terjadi perebutan, tawa lepas kerap pecah menambah semarak pertandingan yang selalu terjadi setiap sore di Kampung Nelayan. Satu-satunya hiburan bagi anak-anak yang tinggal di sana.

El merapat di barisan para penonton yang duduk lesehan. Dilepas sendalnya dan dijadikan sebagai tempat duduk. Gadis itu menekuk lutut. Mempertemukan jari-jarinya di atas tulang betis. Pandangan fokus memperhatikan permainan yang tersaji.

Sore sudah hampir habis. Namun permainan semakin seru. Sebagian penonton mulai membubarkan diri. Mungkin hendak mandi lalu menuju mushola.

"Mike tak balek? Nanti dimarah same Bu Qia tau." Teguran dengan bahasa Melayu itu sudah lekat dipendengaran El—dari Ninda.

Setelah pulang sekolah sampai sore, Ninda selalu membantu Bu Qia mengajar anak-anak usia lima tahun untuk membaca. El sudah diminta untuk turut serta, namun gadis berhijab itu menolak. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan berkeliling sepanjang pantai, nonton permainan bola, atau duduk-duduk di pelabuhan. Baginya itu menyenangkan.

"Ayo balek," Ninda memaksa agar sepupunya berdiri.

Dengan susah payah, Ninda membangunkan El dari duduknya. Akhrinya El mengalah. Berdiri dan mengikuti tarikan Ninda yang akan membawanya pulang ke rumah.

Awal kedatangan ke kampung itu, dua hari El tinggal bersama keluarga Ninda. Sekarang dia dan ibunya sudah pindah di rumah dinas yang berada persis di sebelah tempat tinggal Pakde. Jadi, kalau sedang tidak membantu mengajar, Ninda sering mengikuti ke mana saja El pergi. Berceloteh tentang banyak hal. Walau yang diajak berbicara lebih sering diamnya.

"Kate Bu Qia, mike suka main sepak bola? Betulkah?"

"Ibu bilang gitu ke kamu?" Demi mendengar ibunya membicarakan sepak bolanya, gadis itu merespon cepat.

"Iye."

El menggeleng. Tak mau merasa terbang lebih dulu. Karena seumur-umur menggeluti sepak bola, ibunya tak pernah menceritakan pada orang lain. Malahan, El lebih sering dimarahi dan diminta untuk menghentikan aktivitasnya itu.

"Ah, pasti ibu ceritanya diembel-embeli hal buruknya," ucap El. "Bilang, tim El kalau main kalah terus, habisin tenaga, habisin waktu." El menirukan nada bicara Bu Qia setiap memarahi El yang bermain sepak bola.

Melihat ekspresi El, Ninda tertawa kecil.

"Padahal kan, sepak bola bukan cuma tentang menang atau kalahnya aja. Iya... semua tim yang bertanding pasti ingin menang," oceh El. Diberikannya jeda beberapa detik untuk mengatur napas yang mulai berapi. "Sepak bola itu soal perjuangan dan adu strategi. Orang awam kayak ibu itu enggak seharusnya memberikan komentar negatif tentang kekalahan sebua tim. Atau parahnya lagi, meminta saya berhenti bermain bola."

Tulang wajah El mengeras. Menahan amarah setiap kali mengingat ibunya yang selalu menghentikan langkahnya bermain bola.

"Ibu sama sekali enggak pernah ngerasain ada di lapangan buat main bola. Kalau udah ngerasain pasti bakalan langsung diam. Enggak berkomentar negatif lagi."

Wajah El merah padam menahan kesal dan amarah. Menjadi hebat atau terbaik itu butuh waktu. Dan El sedang memperjuangkannya. Suatu ketika dia akan tunjukkan pada ibu juga semua orang, bahwa dia adalah salah satu pemain sepak bola wanita dari Indonesia dengan permainan yang bagus dan memiliki atitude serta kedispilinan yang baik.

"El..."

"Sudahlah, Nin..." El mengibaskan tangan. "Sebenarnya arah pembicaraan yang kamu inginkan juga akan berakhir sama, seperti obrolan saya sama ibu biasanya kan?" Mata El menatap Ninda teduh. "Meminta aku berhenti bermain sepak bola?"

El berlari kecil meninggalkan Ninda. Dari belakang, sepupunya terus memanggil namanya untuk meminta berhenti berlari.

***

Kartu Merah Untuk MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang