Pakde Salem memapah El menuju teras rumah. Sisa-sisa hujan masih berjatuhan. Coach El itu melempar senyum pada Bu Qia yang berdiri dengan melipat tangan di bawah dada. Tatapannya sangat tidak bersahabat. Ditambah melihat kondisi El yang sangat memprihatinkan.
"Qi..." sapa Pakde Salem.
"Matursuwon sampun ngeterke putri saya. Mulai sesok, El orak bakal dolanan bal maneh. Dedi Qia harap, Pakde mboten usah meracuni pikiran El supaya menggeluti sepak bola."
(Terimakasih sudah mengantar putri saya. Mulai besok, El enggak akan main bola lagi. Jadi Qia harap, Pakde enggak usah meracuni pikiran El supaya menggeluti sepak bola).
Pakde Salem hanya mengangguk pelan.
"Yo wes, kulo pamit riyen." Pakde Salem mengalihkan pandangan pada El yang sudah berdiri di sebelah Bu Qia. "Cepat sembuh, El," katanya sambil melangkah mundur menuju sepeda motor yang basah.
(Ya sudah, saya pamit dulu).
Bu Qia merampas sepatu bola yang berada di tangan putrinya. Tanah basah masih menyelimuti sepatu itu. Segudang kesal sudah terbendung di wajah Bu Qia. Siap dilepaskan kapan saja.
"Kamu relo bolos terobosan gawe iki?" Sambil menunjuk-nunjukkan sepatu bola di tangan. "Opo seng koe oleh dino iki, selain awak reged, teles, OPO? Menang?" Bola mata guru cantik itu nyaris keluar.
(Kamu rela bolos terobosan untuk ini?)
(Apa yang kamu dapat hari ini, selain badan kotor, basah, APA?)Ini hari yang sangat berat untuk El. Setelah dirinya keluar sebelum babak pertama berakhir, Putri Banjarsari kembali kemasukan dua gol. Dibabak kedua, Putri Surakarta membobol gawang Putri Banjarsari sebanyak 4 gol. Pertandingan berakhir dengan skor 7-0. Kekalahan telak adalah hasil yang El dapatkan. Dan itu sama sekali tidak bisa dijadikan pembelaan dihadapan ibunya. Yang ada, cita-citanya semakin diinjak-injak.
"El, mlebet riyen, Bu. Arep ngresiki awak."
(El, masuk dulu, Bu. Mau bersihin badan).
Amarah Bu Qia memudar saat putrinya pamit masuk. Namun amarah itu kembali mencuat tatkala melihat El yang berjalan terpincang-pincang.
"Kenopo sikilmu?" tanya Bu Qia. El tidak memberikan jawaban. Dia terus melangkah. "Iki hasil seng koe oleh sekoh pertandingan dino iki? Cumo sikil loro?"
(Kenapa kakimu?)
(Ini hasil yang kamu dapat dari pertandingan hari ini? Cuma kaki sakit?)
Tidak ada satupun kalimat yang bisa dijadikan tameng dari ledekan ibunya. Ribuan kalimat yang biasanya ada, tiba-tiba bersembunyi pada kekalahan yang terjadi. Apa yang didapat adalah awal yang buruk. Dan mungkin saja jika terus dijalani, hanya hal buruk yang akan terus didapat.
Apa dia harus menghentikan cita-citanya dan menuruti perkataan ibunya? Jika itu yang harus dilakukan, apa iya langkahnya selalu saja dituntun? Bagaimana nasib cita-citanya? Pikiran yang kacau hanya bisa ditata dengan membersihkan diri menggunakan air hangat. El bergegas mandi.
*
"Sikilmu kenopo?" tanya Fahda saat El baru saja sampai di tempat duduk.
(Kakimu kenapa?)
"Pasti kalian yo seng ngomong neng ibu nek aku bolos terobosan?" El balik bertanya dengan tatapan tidak suka.
(Pasti kalian ya yang bilang ke ibu kalau aku bolos terobosan?)
"Kok ngarani sih, El?" bantah Via.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kartu Merah Untuk Mimpi
General FictionIni kisah tentang seorang wanita berhijab bernama Adiba yang gemar bermain sepak bola. Cita-citanya juga tidak tanggung-tanggung. Dia ingin masuk Timnas Putri Indonesia, atau bahkan bisa bermain di luar negeri. Tapi sejak perceraian kedua orangtuany...