Lara Mentari # Part 7

17.8K 1.6K 26
                                    

Erick terlihat kacau. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan Mentari dan anaknya. Sebelum dia bisa menemukan keberadaan mantan istri dan anaknya, tidak akan bisa tenang. Hari ini dia menyerahkan semua pekerjaannya pada Andre yang menjadi kaki tangannya di kantor. Dia juga tidak tidur di apartemennya, tapi tidur di rumah yang sudah di berikan pada Mentari dan Gara. Terkadang penyesalan selalu datang terlambat. Begitupun dengan rasa rindu. Rindu dengan senyuman Mentari yang memiliki lesung di kedua pipinya hingga kalau tersenyum akan  terlihat sangat manis. Rindu akan masakannya yang lezat. Dan rindu tentang segala hal yang berhubungan dengan Mentari dan Gara.

Telepon di nakas terus berdering dari tadi. Erick tahu siapa yang menelponnya, tapi dia sama sekali tidak berniat mengangkatnya. Itu pasti dari Adelia. Kalau tidak minta tambahan uang belanja, wanita itu pasti akan meminta untuk segera di nikahi. Kemarin sebelum penceraian terjadi, Erick sangat menggebu ingin segera meresmikan hubungan gelapnya dengan Adelia ke jenjang yang lebih serius. Namun saat ini niatnya benar-benar mengendur. Rasa cinta yang menggebu perlahan menguap. Ternyata sebrengsek apapun dirinya sebagai laki-laki, rumah adalah tempat terindah untuk pulang, dan Adelia merasa tidak cocok untuk di jadikan rumah sebagai tempat untuk pulang.

"Den…den Erick…" pintu kamarnya di ketuk dari luar.

"Masuk saja, bik…" suruh Erick dari dalam.

"Ini Bibi bawain sarapan, dari tadi aden nggak keluar-keluar." ujar Bik Sumi sambil menyimpan sarapan nasi goreng di meja.

"Terimakasih Bik, nanti aku makan. Sekarang aku kepingin tiduran dulu." ujarnya lesu.

"Aden sakit?" tanya Bik Sumi khawatir.

Erick menggeleng. "Aku hanya kurang tidur aja Bik, bentar lagi juga sembuh." jawabnya.

"Ya udah Bibik, tinggalin dulu ya, Den? Nanti kalau ada apa-apa panggil aja di dapur."

Erick mengangguk pelan. Hari ini tubuhnya terasa lemas dan sedikit pening. Mungkin efek kurang tidur. Gara-gara semalaman susah tidur, karena di dera rasa bersalah yang sangat. Erick memaksakan tubuhnya bangkit dari tempat tidur karena harus sarapan. Nasi goreng petai yang di buat Bik Sumi terlihat menggiurkan, membuat rasa laparnya terbit.

Dan ketika mencoba menyuapkan beberapa suap nasi goreng ke mulut, perutnya mendadak mual, hingga harus segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan kembali makanan yang sudah di makannya.

"Ya…Tuhan kenapa aku aku bisa semual ini." Erick menyenderkan tubuhnya ke dingding dengan tubuh terasa tidak berdaya. Dengan langkah di seret laki-laki itu kembali menuju kasur untuk segera membaringkan tubuhnya. Kepalanya terasa berputar. Biasanya dia tidak pernah selemah ini.

Andai saja Mentari ada di sini, pasti tidak akan membiarkanku kesakitan seperti ini, batinnya. Di saat sakit seperti ini, betapa ia sangat membutuhkan perhatian seorang istri yang bisa mengurusinya dengan telaten.

Akh…kenapa yang di pikirkan dalam otaknya cuma Mentari, bukankah dirinya sendiri yang sudah memutuskan ikatan perkawinan itu. Merasa yakin kalau dirinya akan hidup bahagia dengan selingkuhannya, tapi hari ini merasa dirinyalah yang paling menyesal karena di tinggalkan. Seperti laki-laki patah hati yang merasa dirinya paling di sakiti. Padahal dirinyalah yang paling baling banyak menyakiti.

"Mentari…Gara…kalian di mana? Sungguh aku benar-benar menyesali semua perbuatan burukku." rahuknya perih. Dengan sadar laki-laki itu menangis. Kalau kembali bertemu dengan mereka dia berjanji pada dirinya untuk berubah lebih baik dan kembali menawarkan untuk kembali merajut mahligai rumah tangga.

Bik Sumi sangat kaget melihat majikannya tampak tak berdaya dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Dan makanan yang di antar tadi pagi hanya di icip beberapa suap. Padahal majikannya ini sangat suka banget dengan nasi goreng pete.

"Ya Allah, Den…kenapa wajahnya pucat banget banget. Sarapannya kenapa nggak di habisin juga?"

"Perutku mual…mual, Bik. Aku ngak bisa menghabiskannya."

"Apa perlu Bibik bawa kerumah sakit?"

"Nggak usah Bik, Bibik buatin aku rebusan air jahe di tambah madu seperti yang suka Mentari buat." ujarnya. Bahkan di saat sakitpun dia masih ingat obat yang selalu di berikan istrinya. Dan Erick selalu ingat kata-kata Mentari bahwa di saat sakit, sebisa mungkin menghindar dari obat-obat berbahan kimia.

"Apa perlu Bibik buatin bubur?"

"Boleh Bi, siapa tau nanti mualku reda. Aku minta di taburin saledri yang banyak dan bawang goreng. Seperti yang suka Mentari buat dan tambahin kecap manisnya yang banyak."

Bik Sumi mengangguk meski merasa sedikit heran. Kenapa di saat sakit gini semua di kaitin dengan Mentari.

"Apa Bibik perlu kasih tau Nyonya atau Non Ad…."

"Jangan…aku…tidak ingin mereka tau bahwa aku…ada disini."

"Baiklah." Bik Sumi pun segera bangkit berdiri untuk ke dapur.

Akhirnya bubur yang di buat telah jadi. Dan Erick memakannya dengan lahap.
                              
Setelah memakan bubur dan meminum Air Jahe yang di campur dengan madu,  Erick merasa sedikit lega karena mualnya sudah mereda. Dan Erick meminta izin istirahat sebentar pada Bik Sumi.

"Aku tidur dulu bentar ya, Bik. Tolong jam sepuluh di bangunin. Dan masakin air panas buat mandi di tabur teh hijau seperti yang suka mentari buat disaat sakit atau tubuhku lelah." pesannya.

Lagi-lagi Erick teringat kebiasaan Mentari yang sangat telaten dalam merawatnya. Semua kebiasaan yang dulu sepele, kini terasa berharga. Mentari sangat suka dengan pola hidup sehat. Hampir semua obat yang di gunakan saat sakit adalah rempah-rempah. Begitupun minuman sehari-hari kebanyakan rempah-rempah. Di saat sakit Erick sering mandi air hangat di campur daun-daun atau campuran teh hijau. Rasanya sangat segar, dan itu katanya resep yang ajarkan kakek dan neneknya.

Dan Bik Sumi mengangguk menuruti perintah majikannya. Meski dalam pikirannya diliputi banyak pertanyaan. Apakah majikannyan itu menyesal dengan kepergiaan istrinya? Semoga saja dia akan menyadari bahwa Mentari adalah istri terbaik yang tidak pantas untuk di sia-siakan. []
                                 @@@

LARA MENTARI (Belum Direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang