washington d.c.

325 74 8
                                    

006. washington d.c.; museum.

Wendy masih ingat film yang ditontonnya saat ia masih sekolah, tentang Museum Smithsonian dan apa yang terjadi pada artefak-artefaknya pada malam hari. Hal itu semakin membangkitkan hasratnya akan museum, sejarah, dan beberapa hal tentang arkeologi, meski passion itu kemudian terkubur seiring waktu, ketika hidupnya mulai dipenuhi hal-hal yang berhubungan dengan tarian dan nyanyian.

Awalnya ia pikir Chanyeol tidak akan tertarik dengan museum, dan lebih memilih untuk tidur di hotel. Atau mungkin duduk-duduk di kafe hotel tersebut, membuat lagu. Apalagi ia baru saja sembuh dari sakit, mengharuskan Wendy-lah yang menyetir tanpa bergantian dari New York sana.

Ternyata Chanyeol berpikiran sebaliknya. "Kupikir aku harus sering-sering ke museum juga," pendapatnya begitu. "Mungkin aku bisa menulis lirik yang lebih kaya lagi."

Benar juga, pikir Wendy. Ia seringkali melihat buku jurnal Chanyeol, atau catatan-catatan dan demo pada tabletnya (dengan izin pria tersebut, tentu saja), dan belakangan ini Chanyeol lebih sering menulis lirik-lirik tentang musim gugur Kanada saja. Barangkali dia perlu penyegaran.

Museum itu sedang sepi pengunjung, masih jam kerja pada hari sibuk, dan sedang tidak ada karyawisata. Wendy mengambil sebuah buku panduan, dan Chanyeol mengikutinya. Mereka berjalan pelan menyusuri museum, sesekali mengecek fakta sejarah atau tayangan-tayangan melalui media audio-visual yang disediakan di sekitar artefak-artefak yang ditampilkan.

Setelah mengelilingi separuh museum, Wendy menyenggol Chanyeol dengan isengnya. "Bagaimana, sudah dapat ide untuk lirik yang beda dari biasanya?"

Chanyeol mendekati sebuah kotak kaca yang berisi manuskrip kuno. "Tidak seperti itu cara kerjanya, Sayang. Kau seperti tidak pernah bikin lirik saja." Dia mendelik sebentar. "Setelah mencari, tidak langsung bisa kita tulis. Tapi paling tidak, sudah tertanam di alam bawah sadar, untuk suatu saat nanti, keluar pada saat yang tepat."

"Mmm, hmmmm," Wendy menjawab begitu saja, karena terdistraksi oleh sebuah artefak yang menurut keterangannya, didapat dari sebuah penggalian tak jauh dari tepi pantai. Ia menatap benda itu cukup lama. "Ah, seandainya bisa terlahir kembali, kurasa aku ingin jadi arkeolog." Ia menunjuk benda itu pada Chanyeol. "Rasanya pasti menyenangkan, bisa menemukan bagian dari sejarah lebih dahulu dari orang lain. Bisa mengetahui lebih banyak tentang orang-orang terdahulu dan apa yang terjadi pada mereka, kejayaan mereka, mengapa mereka kehilangan kekuasaan ...."

Chanyeol membiarkan Wendy tenggelam dalam pikirannya sendiri selama beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, kita mungkin tidak akan bertemu."

Wendy mendelik. "Siapa yang tahu, hm? Siapa tahu yang berbeda cuma nasib, bukan takdir. Mungkin nasibku berbeda, berada di pekerjaan yang bertolak belakang dari yang sekarang, tapi takdirku tetap bersama Park Chanyeol. Entah bagaimana caranya."

Chanyeol mencebik jenaka. Dia menggandeng Wendy. "Bisa saja. Tahu saja kau apa yang kupikirkan." 

autumn and roadsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang