detroit

279 65 3
                                    

008. detroit; skyscrapers.

Chanyeol mendengar nyanyian dari bibir Wendy setelah mereka selesai memotret di komplek Renaissance Center. Ia tidak mengizinkan wanita itu menyetir saat ini, karena baginya Wendy sudah terlalu sering melakukannya. Sudah saatnya wanita itu istirahat dan menikmati perjalanannya. Mulai dari perjalanan mereka memasuki Amerika Serikat, ketika ia sakit, hingga saat ia dikejar deadline mendadak sebelum ini, Wendy menempuh lebih banyak jarak sebagai pengemudi dibanding dirinya.

Ia berusaha mengenali lagu yang Wendy nyanyikan dengan pelan tersebut, tetapi ia tak dapat menebaknya. Wendy sudah mengganti nyanyiannya, sepertinya, karena tempo yang terdengar sedikit berbeda. Dia sedang asyik mengamati foto lanskap yang mereka ambil dari seberang perairan. Chanyeol tadi melihat salah satu foto yang diambil Wendy, deretan gedung pencakar langit yang penuh dengan kerlip lampu, langit yang sudah biru menggelap dengan sedikit sisa cahaya kuning di bawah; lalu pantulan keemasan di atas air. Ia juga akan menjadi Wendy jika ia yang mengambil foto itu; ia akan bangga sambil tersenyum-senyum sendiri sambil memandangi hasilnya.

"Aku pernah diajak Papa masuk ke salah satu hotel yang tadi, untuk menemui koleganya."

"Oh, ya, tempat ini dekat dengan Kanada, ya."

"Hmm. Tapi aku diajak saat aku masih tinggal di AS." Wendy akhirnya mematikan kameranya. "Aku naik ke lantai 50. Lantai tertinggi yang pernah kukunjungi di usiaku waktu itu."

"Bagaimana rasanya?"

Chanyeol melirik, mendapati perempuan itu sedang memandang kosong ke depan, tetapi senyumnya merekah. "Indah sekali, dunia dari atas sana. Aku akhirnya mengerti mengapa banyak sekali nyanyian tentang 'aku ingin terbang'. Melihat dari atas sana, rasanya ... ajaib."

"Sama saja dengan melihat kota saat kita menumpang pesawat yang akan mendarat atau tinggal landas, kan?"

"Beda." Wendy menggeleng. "Kalau yang itu, rasanya terlalu cepat. Semuanya terjadi dengan begitu singkat, tahu-tahu, kita cuma melihat awan saja. Kau harus mencobanya sesekali, Sayang, supaya kau tahu perbedaannya."

"Sayang sekali besok kita sudah berangkat lagi." Chanyeol sengaja menurunkan kecepatan mobil mereka. "Ceritakan saja, dong, perbedaannya."

"Kau pernah merasa begitu beruntung, bisa mendapatkan hal yang langka, tetapi merasa begitu kecil pada waktu yang bersamaan?" Tangan Wendy membentuk gestur-gestur abstrak di udara, yang tak begitu dipahami Chanyeol. "Karena dengan melihat kotak-kotak kecil di bawah sana, yang ternyata kota tempat orang menjalani kehidupan, kau merasa berbeda sekaligus beruntung. Tapi ternyata ... kau begitu kecil di dunia ini, karena akhirnya kau melihat betapa 'kecil'nya hal-hal yang dilakukan orang di bawah sana."

"Mmmm." Chanyeol berpikir agak lama. "Beruntung, mendapatkan hal yang langka, lalu merasa begitu kecil juga di saat bersamaan?" ia mengulanginya. "Kurasa aku tahu. Aku pernah mengalaminya."

"Kapan?"

"Di hari kau bilang sumpahmu." Chanyeol nyengir. "Aku beruntung kau mengatakan sumpah setia sehidup-semati itu untukku. Tapi, aku merasa kecil sekali—aku memiliki orang sebaik ini? Oh, apa saja yang sudah kulakukan?"

Perempuan itu tertawa, tampaknya tak menduga jawaban Chanyeol, sampai-sampai dia memukul lengan Chanyeol ringan. "Ada-ada saja."

"Eh, aku serius, lho."

"Iya, iya, percaya." Wendy pun akhirnya bisa berhenti tertawa. "Itu berarti, aku gedung pencakar langit-mu, dong?"

Chanyeol menggeleng. "Masa' kau disamakan dengan benda seperti itu, Sayang? Kau jauh, jauh sekali dari itu."

"Oh, that's the new romantic, babe." Wendy pun bergeser, menyandarkan kepalanya pada bahu Chanyeol. "Setelah ini aku mau langsung tidur, ya, biar kita bisa berangkat ke Charlotte pada dini hari."

"Siap, Nyonya Park!"

autumn and roadsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang