los angeles

214 55 6
                                    

016. los angeles; light.

Chanyeol dan Wendy tidak pernah memproyeksikan waktu tiba di sebuah kota. Mereka mengadakan perjalanan dari kota ke kota dengan santai, bersinggah sebanyak atau sesedikit yang mereka mau.

Perjalanan dari kota sebelumnya memakan begitu banyak waktu, selain karena daerah Nevada memang favorit Chanyeol (dia begitu ingin mengunjungi gurun-gurun), sehingga mereka berbelok begitu sering.

Hingga pada akhirnya, mereka tiba di Los Angeles pada pukul tujuh malam. Langsung tidur begitu tiba di hotel, baru terbangun pukul dua malam, dalam keadaan lapar. Chanyeol tak keberatan dengan berkeliling menyeleksi tempat makan yang buka dua puluh empat jam, dan Wendy begitu senang mencari tempat-tempat yang unik.

Mereka berakhir di sebuah atap, restoran yang begitu sempit, tetapi menawarkan banyak menu. Tempat di sudut atap, dekat dengan tembok, dua piring makanan Italia. Wendy makan dengan lahap, cepat, ingin lekas-lekas menikmati apa yang tampak dari tempat duduknya. Chanyeol memakan sisa-sisa fettuccini di piringnya sambil membaca sebuah artikel, menggulirkan layarnya dengan malas.

"Walk of fame ... duh, Sayang, kita sudah pernah ke situ, kan? Atau mau ke Santa Monica? Taman dan Perpustakaan Huntington? Museum seni? Malibu? Taman Griffith? Kita bisa lebih lama dari di Santa Fe kalau menghabiskan semua isi daftar ini."

Wendy melirik Chanyeol, senyumannya simpul dan manis. Ia bertopang dagu, rambutnya digelung tinggi, matanya berbinar. Chanyeol terperanjat.

"Terlalu banyak atraksi di Los Angeles. Lagipula ini bukan kota yang asing untuk kita, kan? Kita sudah sering ke sini." Ia bersandar pada kursinya. "Bagaimana kalau kita nikmati apa yang kita punya sekarang saja dulu?"

Chanyeol menoleh pada kota yang terhampar di samping mereka, pada gedung-gedung bertingkat yang bercahaya, pada kota dan langit yang berpendar karena titik-titik cahaya tersebut. Sekali lagi ia termenung menghadapi kota. Seharusnya yang seperti ini bukanlah lagi hal yang asing. Dia begitu dekat dengan kehidupan malam, tetapi jika merenunginya sekali lagi seperti ini, dia rasa dia telah melewatkan banyak hal. Hidup yang berdenyut di tengah-tengah kegelapan. Tentang peradaban manusia yang sudah mengagungkan malam. Tentang cahaya dalam kegelapan. Dia menghela napas panjang.

"Cahaya malam," Wendy memulai lagi. "Naluri manusia adalah menyukai cahaya. Mulai dari nenek moyang yang hidup di gua untuk berburu dan mengumpulkan makanan ... sampai kita yang selalu berkelana sekarang." Kemudian, dia menatap kota dengan kaget. "Oh. I think we've come full circle now. Dari yang dulu sering berkelana, sekarang tetap berkelana. Kita sampai pada peradaban yang berbeda, dengan pola yang tetap sama." Perempuan itu tertawa kecil.

Chanyeol membutuhkan waktu untuk mencerna. Pelan-pelan, dia pun mengangguk.

"Dan kita masih suka pada cahaya." Wendy mengedikkan dagu ke arah kota.

Chanyeol menelengkan kepala. "Aku tidak yakin aku di kota Los Angeles. Kota hiburan, film ... kurasa aku sedang di Yunani."

"Terlalu filosofis?" Wendy tertawa kecil. "Mungkin karena aku baru bangun tidur." Ia nyengir. "Biar kutambahkan lagi supaya Park Chanyeol tambah pusing: cahaya terbaik, tetaplah di sini." Ia mengedikkan dagunya lagi, tetapi ke arah Chanyeol. "Di matamu."

Chanyeol tersenyum lebar, menggeleng-geleng. "Dasar cewek ini. Untung sayang."

autumn and roadsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang