Semua santri terlihat sedang bersiap-siap untuk menunaikan shalat Ashar di Masjid, mereka memakai mukena juga membawa Al Qur'an dan buku catatan. Afsa terdiam, apakah kehidupan rumit mulai mendatanginya? Malas sekali rasanya, kenapa mereka begitu bersemangat ya?
"Afsa, ayo siap-siap!" Ajak Rumi sembari mengambil Al Qur'an pink miliknya.
"Harus ya, Rum?"
"Ya harus, ini Pesantren, Sa"
"Ya udah deh bentar, lo jangan tinggalin gue ya!" Pinta Afsa yang malah mirip mengancam. Gadis itu membuka lemarinya, lalu mengambil mukena berwarna putih. Omong-omong, tadi Rumi membantunya merapikan pakaian, baik sekali gadis itu.
"Duh, mukena modelan ibu-ibu gini" ucap Afsa dalam hati. Dengan setengah hati ia memakainya, kemudian mengambil Al Qur'an.
"Kamu nggak akan ngambil buku catatan?" Tanya Rumi.
"Buat apa si? Gue males catet-catet gitu, nanti gue nyontek punya lo aja ya" Balasnya sembari tersenyum.
Rumi menghela nafas, "Oke"
Mereka pergi bersama, menunaikan shalat Ashar kemudian dilanjut tilawah bersama. Afsa, gadis itu mulai melupakan beberapa hukum tajwid yang pernah dia pelajari dulu. Ia pun merasa bahwa bacaannya tak selancar dulu. Alhasil, karena malu, ia hanya menggerakan bibirnya saja dengan suara pelan, yang penting terlihat membaca pikirnya.
"Rum, sekarang apa lagi?" Tanya Rubi setelah mereka membaca Al Qur'an dan para santri duduk berbaris seperti shaf shalat.
"Tausiyah," Balas Rumi singkat sembari duduk dengan rapi. Afsa hanya mengikuti Rumi, ia tidak ingin terlihat seperti orang bodoh nantinya.
Kain pemisah antara shaf laki-laki dan perempuan dibuka, kemudian seorang lelaki naik ke atas mimbar membuka acara tausiyah. Afsa menatap setiap punggung lelaki di depan sana, matanya pun secara terang-terangan menatap lelaki yang menjadi MC.
"Wajahnya lumayan juga," ucapnya dalam hati, menilai wajah MC di depan sana.
"Rum, dia siapa?" Bisik Afsa.
Rumi menoleh, "Dia Altezza"
Afsa ber-oh ria sembari berpikir, "Namanya unik"
"Dia kelas berapa?" Tanyanya lagi.
"Kelas sebelas, sama kaya kita. Kenapa? kamu suka dia?" Selidik Rumi.
Afsa terlihat berpikir, "Suka ya? Nggak juga, cuman dia menarik"
"Banyak lho yang suka dia, selain dia tampan nan rupawan, hafalan dia juga Maa syaa Allah banget," Ujar Rumi sembari senyum-senyum tak jelas.
Afsa mendelik menatap Rumi yang cekikikan sendiri, "Banyak yang lebih cakep dari dia, temen-temen gue lebih cakep dari dia"
"Oh ya?" Tanya Rumi penasaran, Afsa baru tahu fakta tentang Rumi sekarang. Dia penyuka pria tampan rupanya.
"Astaghfirullah, Afsa. Kita belum nyatet dari tadi, duh mana materinya udah pertengahan kayaknya," Rumi misuh-misuh sembari melirik buku catatan santri lain di sampingnya.
"Kita? Lo aja kali, kan lo yang bawa catatan" Balas Afsa sembari melirik Rumi yang terlihat menyalin cepat catatan temannya.
Afsa kembali menatap ke depan, "Buset, yang ini juga bening coy!" Ucapnya yang hanya tertahan di dalam hati. Ia menopang dagu sembari melihat seorang santri yang tengah membawa kan materinya.
'Gue harus bersyukur atau jangan ya?'
***
Kini, Afsa terlihat sangat tidak manusiawi. Kerudung gadis itu terlalu ke depan, hingga kurang enak untuk di lihat, di tambah lagi dengan lengan baju yang dia tarik mencapai siku, dan mulut yang terus mendumel tidak jelas.
"Apaan?! Masa gue di jadiin babu disini?! Mereka juga, masa mau-maunya ngebersihin seluruh penjuru asrama. Kagak ada pembantu apa ya?! Kalo temen-temen gue tau, abis harga diri gue" Sungutnya sembari terus mengepel lorong asrama.
Sebenarnya semua ini adalah jadwal piket, hal itu sudah biasa. Afsa saja yang menganggapnya tak biasa, gadis itu tak terima untuk membersihkan lorong asrama. Padahal kan itu juga kewajibannya sebagai santri disini, ia kira di Pesantren hanya modal belajar saja. Tapi bukan, di sana semua santri belajar untuk menjadi mandiri.
Sembari menarik kerudungnya kebelakang, gadis itu berjalan untuk menyimpan pengepel. Banyak pasang mata santriwati yang menatapnya, Afsa tak peduli, ia ingin cepat membersihkan diri usai ini.
"Maaf kak, itu lengan bajunya boleh di turunkan? Soalnya auratnya nanti kelihatan" Ucap salah satu santriwati menghampirinya.
"Lagian nggak ada cowok kan disini? Ribet banget sih" Cerocosnya sembari mencoba menurunkan lengan bajunya. Santriwati tadi hanya diam, bingung harus merespon bagaimana.
"Nih pengepel taro di sini kan?" Tanyanya yang di angguki santriwati tadi. Dengan cepat Afsa menyimpannya dan berjalan menuju kamarnya.
Gadis itu membuka pintu kamarnya dengan keras, membuat beberapa santriwati sekamarnya terkejut, lalu tanpa dosa Afsa hanya berjalan menghampiri Rumi yang tengah menyisir rambutnya.
"Rum, gue mau mandi," Ucapnya.
"Ya tinggal mandi," Balas Rumi sembari heran menatap Afsa.
"Gue nggak tahu kamar mandinya elah, lo pura-pura lupa gue anak baru di sini, gue belum pro cari ruangan-ruangan di sini," Ucapnya sebal.
Rumi terkekeh pelan, ia lupa. "Eh tapi, tadi bahasa gaul Jakarta ya?"
"Apa? Yang mana?" Tanya Afsa dengan alis bertaut.
"Belum pro? Apa artinya?" Rumi kembali bertanya sembari mengikat rambutnya. Afsa yang mendengar hal itu hanya tertawa, ia tak menyangka Rumi tak tahu artinya.
"Lo hidup dimana si? Baru keluar goa lo? Haha"
"Ish, aku itu nanya serius lho, Sa"
"Lo beneran nggak tau? Astaga!" Afsa malah mendaramatisir keadaan, gadis itu sengaja membuat Rumi seolah-olah makhluk asing yang baru turun ke Bumi.
"Ya makanya dari itu, aku pengen tahu!" Ucapnya kesal karena Afsa malah tertawa. Emang apa lucunya? Dia kan hanya bertanya tentang yang ia tidak ketahui, benar kan?
"Belum pro itu semacam... Apa ya? Oh! Semacam belum ahli gitu," Jawab Afsa setelah berpikir.
"Oh... Oke deh, kalau gitu ayo aku anter ke kamar mandi biar kamu pro," Ajak Rumi sembari meraih kerudungnya.
"Hahaha, Iya biar pro!"
Hi semuaa! Aku kembali lagii, jangan lupa vote dan komennya ya! Love you all( ◜‿◝ )♡
Subang, 5 Juni 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
AFSANA [Revisi]
Teen FictionAfsana Fadwa Rafiqah. Dia adalah anak dari seorang ustadz. Jadi tak heran, jika dia terlihat sangat ta'at pada Tuhan maupun orang tuanya. Kehidupan sejak kecilnya yang selalu dibalut dengan agama membut dia menjadi gadis muslimah yang baik. Namun, s...