Sebuah Kisah Klasik oleh Aila Radit

433 17 2
                                    

Sebuah Kisah Klasik
Penulis: Aila Radit

KEMARIN sore berita besar menjadi bahasan utama grup chat di WA. Tentang siswi baru yang baru pindah dari Surabaya. Bukan hanya kelas 11 MIA 5 saja yang membicarakan akan tetapi satu SMA Cakrawala juga. Kemudian malamnya di warung kopi, (Farid ; Tokoh dari Tasya) dengan temannya dari kelas IIS juga membicarakan hal serupa. Dan aku cukup penasaran cewek seperti apa dia?

Pagi ini aku bertemu dengannya, bukan secara dekat, ketika itu posisiku berada di gerbang sekolah berurusan dengan guru ketertiban, sedangkan dia berdiri di depan ruang BK dengan tas ransel dan seragam batik sekolah lamanya.

“Kamu sudah berapa kali terlambat?” Aku masih berusaha menafsirkan raut wajahnya dari kejauhan, bisa jadi terlalu fimiliar buatku, wajahnya terawat, hidung tidak pesek, mata belok-belok sipit, dan satu kepangan rambut panjang di antara tulang belikatnya. Cukup pantas kalau dibicarakan banyak orang dengan proporsi tubuh yang sebegitu adanya.

“Oreo?” panggil guru ketertiban, Pak Agus.

“Iya, Pak?” Mataku segaja aku buat agar tampak sayup.

“Lah, kamu nggak dengar Bapak tadi tanya apa?”

“Maaf, Pak. Kepala saya pusing, jadi nggak fokus,” jawabku sambil berlaga memijat dahi.

“Jangan banyak alasan kamu.” Pria itu menunjukku dengan tongkat saktinya. “Bapak sudah hapal dengan tipe-tipe siswa seperti kamu ini.”

Sarkastis. “Beneran Pak,” kataku purau. Kaki yang sehat ini aku coba untuk melemas, dan akhirnya tubuhku jatuh dalam pelukan guru ketertiban. Gak apa, khusus hari ini aku jadi cowok murah.

“Waduh.” Pak Agus langsung menggendongku, beliau adalah guru Olahraga pasti kuat menggendong cowok dengan berat badan 60 kilogram ini.

Beberapa menit kemudian, kisah romantis antara Oreo Alister dengan guru ketertiban berakhir ketika aku yang sudah dibaringkan di atas tempat tidur di UKS. Mataku masih terpejam rapat, mungkin lebih meyakinkan lagi kalau kepalaku sedikit miring ke kanan.

“Katanya anak Pecinta Alam kok tubuhnya ringkih gini, Oreo... Oreo... kalau sakit tuh jangan dipaksain sekolah atu. Bapak jadi repot gini kan.” Aku gak boleh ketawa, sutradara masih stand by.

“Mbak nanti kalau Oreo sudah mendingan kabari saya yah? Saya ada di ruang BK. Kalau nggak ada berarti saya ngajar di kelas,” katanya sambil melonggarkan ikat pinggangku. Dia pasti bicara dengan penjaga UKS. Lalu aku merasakan sepatu dan kaos kaki yang aku kenakan dilepaskan olehnya.

“Iya Pak. Apa perlu saya buatkan surat izin untuk Oreo? Biar nanti langsung diantar pulang.”

“Halah, nggak usah. Anak ini di jam istirahat nanti pasti ikutan main bola sama teman-temannya.” Anda luar biasa Pak Agus, peramal yang jempolan. “Saya langsung laporkan ke wali kelasnya saja.”

Ha! Berurusan dengan Bu Lina lagi. Tuhan, tolong selamatkan aku dari mara bahaya ini. Wali kelas yang satu itu sungguh ingin aku menjadi menantunya, menikahi anaknya yang masih SMP. Aku tidak ingin itu terjadi.

Kamu itu kalau mau nikahi anak saya sekolahnya yang bener. Jangan sering-sering berurusan dengan Pak Agus. Tapi nggak apa juga, kalau begini kan saya bisa ketemu calon besan. Ini surat panggilan untuk orang tua kamu.” Kata-kata klise bahkan kurang kreatif untuk menasihatiku. Mama... Papa... yang sabar yah menghadapi Bu Lina.

Ah... tidur sebentar sambil mimpikan siswi baru boleh kali yah. Daripada mikirin Bu Lina, kan? Pak Agus terima kasih sudah menggendongku tadi. Kalau begini kan aku bisa mengandai-andai kalau siswi baru nan cantik itu satu kelas denganku. Amin.

Ekskul SMA Cakrawala #TeenfictWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang