Sandi Hati oleh Icha Rizfia

2.6K 164 41
                                    

Sandi Hati
Penulis: Icha Rizfia

Jika mendung tanda hujan, bolehkan Arum artikan bahwa rindu tanda sayang? Seperti yang ia alami saat ini. Merindukan dalam diam, padanya yang tak lagi di depan mata.

"Nglamun wae ya ampun," tegur Melani, teman sekelas Arum di MIA 2. Mangkuk bakso berada di hadapannya, karena baru saja pesan. Ia lantas duduk di dekat Arum.

"Mikir apaan sih?" Arum yang tadinya melamun, ganti menyesap susu jahe hangatnya. Cuaca memang panas, tapi Arum tetap memilih yang hangat sebagai peneman. Ia butuh kondisi fisik yang prima, karena sebentar lagi akan ada latihan gabungan Pramuka Penggalang se-kota Bandung. Sementara baru seminggu lalu ia dan anak-anak pramuka selesai kemah Wirakarya di luar kota. Jadi, ia tak boleh egois memilih es di siang terik demi kondisi fisik yang tetap terjaga.

"Kak Awan."

Melani yang hendak menelan bakso langsung berhenti. Ia toleh ke sebelah. "Kak Awan pembina?"

Arum mengangguk sambil tersipu-sipu malu.

"Kenapa sama dia?"

"Kayaknya .... hati ini jedag-jedug mikirin dia terus."

"Orang kayak Kak Awan emang bagusnya di mana sih? Oke, cakep sih emang. La ilah ... dia galaknya nggak ketulungan gitu. Masa kemah kemarin gue lupa taruh pasak langsung diomelin, mana di depan anak-anak lain. Gue lupa, harus gimana dong. Pusing aing mah."

Arum terkikik. "Jelas dimarahin lah. Kalau pasak nggak ada, lo mau dirikan tenda pakek apaan?"
Disentilnya hidung pesek Melani hingga gadis itu meringis.

"Eh, kita duduk sini ya?"

Arum mendongak. Ada Firda anak paskibra yang datang bersama temannya. Tempat duduk depan Arum memang kosong. Lagipula sebentar lagi Arum juga hendak ke sanggar sebelum jam istirahat berakhir. "Duduk aja, Fir. Gue udah mau cabut juga kok. Temenin Melani aja kalian."

Melani mengangguk tanpa suara karena ia masih mengunyah tahu.

"Gue tinggal dulu ya, semua. Mau ke sanggar bentar."

Arum lekas pergi, setengah berlari ia menuju gedung ekstrakulikuler yang terletak dekat dengan kantin.

***

Memasuki sanggar, ia segera mengambil buku anggaran yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Kerani atau bendahara.

"Cari apa, Kak? Cari pacar nggak ada loh di sini."

Arum menoleh. Rupanya ada Satya yang sudah masuk sanggar tanpa Arum sadari. Laki-laki yang menjadi Pradana atau ketua itu masih menggenggam kantung es dalam tangan. Sesekali ia sedot untuk melepas dahaga. Cara menyedotnya pun berisik tapi lucu. Arum sudah hafal dengan ketuanya yang kadang norak dan aneh itu.

"Eh, ini, Kak, ambil buku anggaran. Ada nota yang keselip di saku tas. Jadi mau taruh di pengeluaran kemah kemarin. Lagian ya, Kak, masa gue cari pacar di sini. Harusnya mereka yang nyariin gue buat jadi pacar," balas Arum kemudian terbahak.

"Oh. Harus banget minta ditemuin. Emang ada yang mau aduh!"

Arum memukulkan buku anggaran ke lengan Satya hingga pemuda itu mengaduh. "Gitu amat sih. Ih, tega!"

"Elah, sewot. Udah, lanjut aja."

Satya berlalu menuju lemari. Ia mengambil sepatu yang dibungkus kresek hitam. Ia membawanya dan hendak pamit pada Arum untuk kembali ke kelas. Namun sebelum itu, Satya menawari bendahara yang juga teman sekelas sejak keduanya masuk SMA Cakrawala untuk kembali ke kelas bersama. "Udah selesai belum lo, Kak? Mau ke kelas bareng nggak? Ntar gue tinggalin mewek lagi."

Ekskul SMA Cakrawala #TeenfictWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang