Ternyata Luka oleh Winda Zizty

653 58 10
                                    

Ternyata Luka
Penulis: Winda Zizty

Keringat membasahi pelipis Lita, deru napasnya memburu dengan kilat di mata bernetra coklat tua itu. Kesungguhan nampak jelas di wajah gadis itu, sinkron dengan betapa cekatan ia membalut luka siswi di hadapannya.

"Pekerja medis bukan Tuhan yang bisa mengatur nyawa manusia. Kalau ada pasien yang mati, itu udah kehendak Tuhan. Bahkan pekerja medis nggak bisa mencegah meski sudah bekerja semaksimal mungkin."

Kalimat itu kembali terngiang di benak Lita, seolah baru kemarin diperdengarkan. Lita memejamkan mata, mengatur deru napasnya yang makin tak terkendali. Bahkan buliran bening itu sudah mendesak pelupuk matanya yang memanas.

Lita menghitung satu sampai sepuluh dalam hati, sesuatu yang menjadi kebiasaan untuk menenangkan diri. Setelah yakin buliran bening itu tidak lagi mendesak untuk menuruni pipinya, barulah Lita membuka pelupuk mata. Kembali fokus pada luka yang mesti dia obati.

Senyum tipis tercetak di wajah Lita tatkala berhasil menghentikan laju darah yang cukup deras itu. Balasan atas jasanya, ucapan terima kasih Lita terima dari sang pemilik luka. Detik lantas berlalu seiring dengan kepergian pasiennya malam ini.

Gadis itu dikenali Lita sebagai Airin, salah satu anggota OSIS di SMA Cakrawala. Luka yang menciptakan cukup banyak tetesan darah itu terjadi akibat kegaduhan di luar sana. Karena massa yang mencoba menerobos gerbang sekolah demi menemui salah satu bintang tamu di acara pensi SMA Cakrawala.

Pintu ruang UKS lantas menutup, membuat Lita mengembuskan napas dalam. Ia sendiri bahkan tidak sadar betapa banyak oksigen di sekitarnya yang harus ia hirup demi dadanya yang sesak.

Lita mengerjapkan mata. Kembali pelupuknya memanas. Sungguh di luar kendali Lita tatkala hadirnya kenangan akan sosok seseorang yang selama ini menjadi pengunjung setia ruangan itu. Sosok yang Lita yakini telah bahagia meski tidak lagi berkabar dengannya.

Lita memegangi dadanya, sesak itu semakin menjadi. Membuat Lita yang semula duduk kini berdiri dan memilih keluar dari UKS. Langkah pelan itu semakin menambah ritmenya hingga menjelma menjadi sebuah gerakan lari seorang gadis di lorong sekolah.

Cahaya rembulan turut menerangi bayangan sang gadis. Dada yang sesak itu bahkan tidak lagi mampu menahan bendungan di mata Lita hingga pecah dan beranak sungai di pipi yang semakin tirus itu.

Lita menyerah. Ia menumpahkan tangisnya, tidak peduli apakah di setiap lorong yang ia lalui akan ditemui siswa yang mengenalinya. Atau bahkan menyadari suasana hatinya yang kurang baik. Lita tidak lagi peduli akan hal itu.
Karena saat ini yang Lita pedulikan adalah hatinya yang ternyata masih menyimpan luka.

***

Entah karena sinar mentari yang terlalu menyengat pagi ini atau kondisi kesehatan para siswa yang kurang fit, hingga cukup banyak peserta upacara yang roboh di tengah jalannya acara. Lita melirik dari balik topinya saat para senior dan teman sejawatnya berlari mendekati siswa yang kedapatan ambruk di lapangan.

Lita bukan tidak ingin melakukan hal serupa. Ia sangat ingin, bahkan ia sudah latah bergerak sendiri tatkala melihat siswa yang oleng. Namun apa daya, Lita kalah sigap dari yang lain. Lagipula jarak Lita dari para siswa yang ambruk sangat tidak memadai. Cukup jauh jika dikata.

Menahan keinginannya, Lita hanya bisa berdiri tegap di belakang barisan kelas 11. Menggigit bibirnya karena ia menjadi resah sendiri.

Sudah sebulan ini Lita menjadi anggota PMR, menjadi orang yang siap siaga di barisan belakang. Meski sebenarnya Lita belum secara resmi dilantik menjadi anggota PMR SMA Cakrawala karena masih ada serangkaian kegiatan yang mesti dia lalui sebelum akhirnya bisa mengenakan lambang PMR di seragamnya.

Ekskul SMA Cakrawala #TeenfictWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang