(L)acuna

127 24 13
                                    

Please leave your comment so I make it to be updated faster,  okay?







-   a blank gap or missing part -

.

.

.

.

Stella masih mematung dikala Alfa mendekat setelah memarkirkan motor. Cowok itu berdecak, menatap Stella yang masih membeku di tempat.

"Ck. Kenapa Lo gak ke sana duluan?"

Stella menunduk, "Nungguin Lo. Gue.. takut"

Tanpa aba-aba, Alfa menarik pergelangan tangannya dan menggenggamnya sambil sedikit menyeretnya menuju Ruang Gawat Darurat. Entahlah, karena cowok itu tidak suka melihat Stella tidak kunjung berjalan atau paham bahwa dia tidak punya cukup nyali untuk kesana, Stella tidak mau berpikir lebih jauh. Sampai di depan pintu, Stella menarik pergelangan tangannya kasar. Dia masih belum siap melihat kondisi Ucup.

Di dalam sana, terlihat ibu dan beberapa siswa yang menunggui cowok itu sadar. Ibu ucup terlihat sangat frustasi. Kehawatiran jelas terlihat dari sorot matanya yang sendu. Ia beberapa kali memanggil nama putranya sambil menggenggam tangannya erat.

Alfa mengkode Stella supaya ikut masuk ke dalam, tapi ia menolak. Stella perlu waktu lebih lama untuk menenangkan diri. Alfa mengangguk dan masuk terlebih dulu.

Stella meremas rok seragamnya erat, ia terlalu gugup. Tangannya masih gemetar dan telapaknya masih dialiri keringat dingin. Ia hembuskan napas berkali-kali berupaya menghilangkan kegugupan. Setelah sepuluh menit berlalu, ia mulai memberanikan diri melangkah melewati automatic door IGD.

Stella melangkah ragu menuju ranjang Ucup. Tinggal selangkah lagi, ia hanya perlu menyingkap gorden tempat Ucup untuk sampai di sana, Stella dibuat membeku seakan seluruh syarafnya dikamando untuk berhenti sejenak karena sebuah kalimat panjang dari dokter.

"Zat kimia yang masuk ke tubuhnya cukup banyak dan membuat kondisi pasien sangat menghawatirkan, beruntung pasien segera dibawa kemari, jika tidak, mungkin nyawanya tidak dapat tertolong"

*

Stella berlari mencari toilet wanita lalu tanpa pikir panjang mengunci diri di sana. Setelah merasa aman dan tidak ada orang, pertahanannya runtuh seketika. Ia dihujani perasaan bersalah yang sangat. Seakan nyawanya berada di ujung tanduk.

Air matanya mengalir tanpa bisa dihindari. Isakannya terdengar pilu. Stella merasa sangat jahat, perasaan bersalah menghujaninya tanpa ampun. Dadanya mendadak sesak. Ia menunduk, membenamkan mukanya di sela lutut dan berjongkok di ujung salah satu bilik toilet.

Bermenit menit ia mengurung diri, tidak peduli pada bunyi gedoran pintu yang berasal dari orang-orang yang tidak sabar mengantre toilet. Sampai ketika ia merasa sedikit lebih tenang, ia menuju wastafel dan bercermin. Refleksi yang ia lihat di kaca sangat buruk, mata dan hidung yang memerah masih tampak jelas.

Stella mencuci muka dengan kasar lalu meraih gagang pintu dan keluar toilet. Secara tiba-tiba, sebuah tisu disodorkan ke arahnya. Stella menatap si pemberi yang hanya menampilkan raut datar.

Stella melengos dan berniat melangkah pergi, tapi cowok itu menahan lengannya.

"Pake, ilangin tuh ingus Lo!"

Stella melayangkan tatapan tajam pada Alfa yang sepertinya tidak berdampak sedikitpun pada cowok itu. Alfa geregetan, karena Stella tidak kunjung menerima tisu darinya, akhirnya cowok itu yang mengelapkannya ke wajah Stella. Refleks Stella menepis jari Alfa dari wajahnya dan membuat tisu tadi terlempar. "Apaan sih?!"

ConSTELLAtionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang