2

24 4 0
                                    

Aku mengikuti Pak Khai hingga ke ruangannya yang ternyata adalah ruangan Mam Yati. Satu dua guru yang ada di dalam kantor guru melirikku sekilas. Sekarang masih dalam jam pelajaran, jadi lumayan sepi. Hanya ada beberapa orang staf sekolah.

Pak Khai duduk di kursinya. Ternyata meja Mam Yati sudah dibagi menjadi dua bagian dan terdapat dua kursi. Setengah bagiannya ditempati oleh Pak Khai. Aku jadi penasaran, memangnya Pak Khai ini siapa? Apakah dia guru magang? Atau guru honor baru? Selama bersekolah di sini, aku belum pernah melihatnya.

"Ehem.. Kamu ngapain berdiri di situ? Kemari!" Suara Pak Khai barusan menyadarkan lamunanku.

"Eh, iya, Pak." Aku kemudian berjalan ke mejanya dan duduk di kursi yang ada di depan meja itu sambil terus menunduk. Rasanya badanku jadi panas dingin. Baru kali ini aku dipanggil ke ruang guru karena ada masalah. Rasa cemas, gugup dan takut bercampur jadi satu.

"Siapa yang suruh kamu duduk?" Lagi-lagi suara datar Pak Khai mengagetkanku. Aku mendongak, menatapnya bingung. 

"Saya hanya nyuruh kamu kemari, bukan duduk," ketusnya. Duh, Pak Khai ini ganteng-ganteng kok galak banget, ya? Aku kembali berdiri dengan canggung, merasa serba salah.

"Siapa nama kamu tadi?" tanyanya lagi. Kali ini ekspresinya sudah tidak segarang yang tadi. Aku menghela napas pelan.

"Cornia, Pak."

"Kenapa kamu tidur di jam pelajaran saya?" Dia menatapku datar, sementara aku hanya bisa sesekali menunduk.

"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja, saya ketiduran."

"Kalau kamu mengantuk, harusnya kamu cuci muka. Permisi sama saya, bukan tidur."

"Sekali lagi maaf, Pak. Saya janji besok-besok ga akan mengulangi lagi." Dia menatapku sejenak, lantas mengambil kertas dan pena, menuliskan sesuatu. Kertas itu kemudian dilipatnya dan disodorkannya padaku. Aku menatapnya bingung.

"Ambil kertas ini, berikan pada Bu Ema. Lakukan apapun yang disuruh oleh Bu Ema hingga jam pelajaran saya selesai. Ini sebagai hukuman untuk kamu," jelasnya datar.

"Bu Ema yang petugas perpus itu ya, Pak?" tanyaku memastikan.

"Memang siapa lagi?" tanyanya ketus. Tatapannya membuatku buru-buru mengambil lipatan kertas itu dan meninggalkan ruangannya.

"Permisi, Pak".



"Kamu tadi disuruh ngapain aja sama Pak Khai?" tanya Amel. Kami sekarang sedang di kantin. Amel menikmati semangkok baksonya, sementara aku melahap lontong sayur bekalku. Hukuman tadi membuatku kelaparan. Apalagi tadi pagi aku tidak sempat sarapan.

"Dia nyuruh aku ngasihin surat ke Bu Ema. Ku kira sih cuma itu doang, eh, ternyata isi surat itu hukumannya. Dia pesan sama Bu Ema buat nyuruh aku bongkar buku-buku lama yang ada di perpus, trus disuruh ngebersihin dan nyusun buku-bukunya di rak. Mana bukunya udah debuan, banyak kecoak lagi," keluhku.

Amel menyeruput Pop Ice-nya. Baksonya sudah tandas. "Kasian banget kamu... Pasti geli banget, ya, ngeliat kecoa-kecoa terbang?" Amel terkekeh.

"Ih... Bukannya prihatin malah ngetawain," sungutku.

"Hehe iya deh iya... Maaf, aku cuma becanda." Ia mengelap keringatnya dengan tisu. Maklum, kantin ini luasnya tak seberapa, dan kipas anginnya juga rusak.

"Lagian Pak Khai itu kok judes banget, ya? Emang dia siapa, sih? Guru magang? Guru honor baru? Atau guru pindahan?" tanya Amel bertubi-tubi.

Aku menghela napas. "Aku ga tau juga, sih... Tapi tadi ku liat, Pak Khai itu satu ruangan sama Mam Yati, satu meja pula," jelasku, sambil menutup kotak bekal yang sudah kosong.

Mimpi dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang