11

22 2 0
                                    

Dua minggu setelah itu..


Aku menatap ke luar jendela bambu kamarku yang terbuka separuh. Angin dingin bertiup menelisik telinga, menghembus kain jendela hingga bergerak-gerak. Rembulan sempurna bundar menggantung di langit. Bercahaya indah.

Dua minggu setelah Ayah menjalani pemeriksaan kesehatan dan pengobatan pertama kali dengan dokter Hans. Dua minggu setelah kejadian Ade mencekal lenganku dibarengi dua temannya yang ikut menghadang. Dua minggu setelah Baron menyelamatkanku dari mereka. Dan dua minggu setelah aku tertangkap basah mengintip Pak Khai di ruang ekskul. Dua minggu berlalu...


Aku menghirup udara, menghembuskan napas pelan. Dingin, tapi segar. Malam sepi, ditingkahi suara kodok dan jangkrik berdengking nyaring.


Siang itu Ayah ditemani Ibu menemui dokter Hans di ruangannya. Dokter muda itu secara singkat menjelaskan tentang penyakit Pneumonia, penyakit radang paru yang diderita Ayah. Penyebab, gejala, dan cara penyembuhan. Segalanya dijelaskan secara ringkas.

Hari itu juga, tanpa menolak atau pun mengeluh, Ayah patuh mengikuti segala pemeriksaan yang dilakukan dokter Hans dan beberapa dokter lainnya yang bersangkutan. Dengan bermodalkan kartu berobat gratis dari pemerintah. Sehingga Ibu hanya perlu membayar untuk resep obat yang di ambil di klinik saja.

Semuanya berjalan lancar. Dokter Hans memberikan resep obat yang harus dikonsumsi Ayah selama masa rawat jalan. Memberitahu jadwal rutin pemeriksaan sebulan sekali. Ayah sejak hari itu, disarankan untuk tidak bekerja yang berat-berat lagi. Banyak beristirahat.

Sejak hari itu, Ayah sempurna berhenti bekerja sebagai kuli angkat semen, menuruti permintaan Ibu. Akhirnya Ayah lebih banyak menghabiskan waktu di rumah membantu Ibu berjualan lontong, yang Alhamdulillah semakin ramai. Sesekali bekerja membantu Pak Ujang, tetangga belakang rumah, menjualkan ikan di pasar.


Aku menatap langit yang berkilau bertabur bintang. Berkerlap-kerlip. Menyempurnakan keindahan purnama. Elok sekali.


Sejak hari itu, Ade, Arman dan Aan, seperti menjadikanku mangsa kejahatan. Selalu mencari kesempatan untuk mengerjaiku. Mulai dari yang remeh seperti mencoreng mukaku dengan spidol saat tertidur di kelas, hingga yang serius, melempariku dengan bola saat olahraga, mencuri kotak bekalku dan banyak lagi lainnya. Mereka seperti menjadikanku sasaran untuk 'bersenang-senang'.

Namun, usaha mereka tidak selalu berjalan baik. Semakin sering mereka mengerjaiku, semakin sering pula Baron membantuku bahkan sebelum kejahilan mereka menyentuhku. Baron bahkan tahu segala gerak gerik mereka. Membuatku selalu terlindungi.

Baron sempat bersikap dingin padaku beberapa hari setelah itu. Namun, karena aku sering dijahili teman-temannya, ia kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan tak jarang ia menghabiskan waktu istirahat bersamaku dan Amel. Makan bareng di kantin misalnya. Baron juga sudah tidak sebangku lagi dengan Ade, pindah ke kursi kosong di barisan tengah paling belakang, duduk bersama Yono. Dan sebuah kemajuan yang menyenangkan, sekarang Amel juga jadi lebih akrab dengan Baron. Kabar buruknya, dia juga jadi semakin sering menggodaku dan Baron, bilang kalau kami cocok, lantas tertawa-tawa saat aku menimpuknya dengan botol minum yang sayangnya selalu meleset. Sementara Baron hanya diam menahan senyum, tak jarang juga salah tingkah, menyembunyikan muka yang memerah.


Aku tersenyum geli. Meski yang kulihat hanya kegelapan yang mengungkung di luar sana. Semua pintu rumah-rumah di sepanjang gang sudah tertutup. Penghuninya lelap tertidur.

Mimpi dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang