3

24 5 0
                                    

Aku mendudukkan diri di kursi, diikuti oleh Amel yang buru-buru meletakkan kotak bekalku di atas meja dan mengeluarkan tisu dari dalam tasnya. Semua orang menatapku ingin tahu, namun aku tak peduli.

"Sini tangan kamu, aku bersihin." Amel menarik tangan kananku dan mulai mengelapnya dengan tisu. Perlahan-lahan tanganku mulai terasa perih. Aku meringis saat Amel membersih darah di sekitaran lukaku. Ternyata kerikil tadi membuat kulitku robek lebih dari sesenti, untunglah tidak terlalu dalam.

"Kamu bawa baju ganti ga?" tanya Amel mengagetkanku dari lamunan. Aku menggeleng. "Ga."

"Aku juga ga bawa. Kalau gitu kita izin pulang aja, ya. Ga mungkin kamu belajar dalam kondisi baju basah dan kotor kayak gini. Lukamu juga perlu diobatin, nanti infeksi."

"Tapi..."

"Ga usah pake tapi-tapian. Ayo cepet kita pulang! Biar aku yang bawain tas kamu, nanti aku temenin minta izin sama wali kelas." Amel segera menarikku keluar, wajahnya terlihat ketus namun aku tahu dia sangat khawatir denganku. Entah kenapa hatiku merasa lebih tenang melihat sikapnya seperti ini. Jarang ada orang yang benar-benar tulus seperti ini.



Aku diantar pulang oleh Amel dengan mobilnya. Tadi, ia menelpon sopirnya untuk menjemput kami di sekolah, lantas mengantarkanku pulang. Aku sempat ngotot pulang dengan angkot saja seperti yang biasa kami lakukan. Namun Amel menolak, tidak mungkin pulang dengan angkot dengan kondisiku yang seperti ini. Mau tidak mau aku harus menurut, karena perkataannya ada benarnya.

Kami sampai di rumah saat Ibu sedang membereskan dagangan. Lontong sayur dan gorengannya telah habis terjual. Amel mengantarku dengan berjalan kaki hingga rumah karena mobilnya tidak bisa ikut masuk di gang depan yang sempit.

"Assalamualaikum." Kami berdua mengucapkan salam.

"Wa'alaikumussalam... Loh, baju kamu kenapa, Cornia?" tanya Ibu kaget saat melihat penampilanku.

"Cornia tadi habis jatuh di sekolah, Bu" Amel yang lebih dulu menjawab.

"Astaghfirullah... Ya sudah mari masuk, biar Ibu buatkan minum." Ibu mengambil tasku dan membawanya ke dalam. Aku dan Amel ikut masuk. Amel duduk di ruang tengah sementara aku pamit ke kamar, mengambil handuk dan pakaian ganti. Aku akan mandi dulu.

Ibu kembali dari dapur membawakan dua gelas teh hangat untukku dan Amel. Serta menemani Amel mengobrol hingga aku selesai mandi.


Aku duduk di sebelah Amel. Kepalaku masih dililit handuk karena rambutku masih basah. Ibu permisi ke depan untuk membereskan sisa dagangannya.

Aku meraih teh hangatku dan menyeruputnya. Begitu pula Amel. "Kamu udah merasa baikan?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku sebenarnya ga apa-apa, kok. Cuma tanganku aja yang masih sakit sedikit. Tadi kulihat lututku juga agak lecet, tapi ga apa-apa," jawabku.

"Syukur deh kalau gitu."

"Tapi... Kayaknya aku ga bisa nulis deh sampai tanganku sembuh."

"Itu ga masalah... Nanti aku bantuin, deh, kalau mau nyatet PR atau catatan." Aku tersenyum pada Amel, merasa beruntung sekali memiliki teman sebaik dia.

"Ya udah, aku pulang dulu, ya. Pak Anto juga udah lama nunggu di depan," ucap Amel. Ia menghabiskan tehnya yang tinggal separuh.

"Makasih banget, ya, Mel. Udah antar aku pulang. Maaf aku ga bisa antar sampe depan."

"Ga apa-apa... Dah, aku pulang dulu." Amel memakai tasnya dan menghampiri Ibu di depan, pamit.


Mimpi dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang