10

5 2 0
                                    

Aku menggoyang-goyangkan kaki yang menjuntai ke tanah, menatap kosong lapangan basket yang sepi. Amel sejak beberapa detik lalu pamit ke toilet.

Aku tidak berselera diajak Amel ke kantin. Sepanjang pagi, aku tidak nafsu makan, tidak nafsu bicara, tidak nafsu melakukan apapun. Lebih tepatnya dari kemarin. Amel yang mengerti suasana hatiku sedang tidak baik, juga tidak banyak bercakap. Lebih banyak diam, menemani.

Lagi pula hari ini Ibu sengaja tidak jualan, karena mengantar Ayah ke rumah sakit. Jadi aku tidak membawa bekal. Hanya minum teh tanpa gula tadi pagi. Itu pun hanya beberapa teguk.

Ayah, yang tentunya lebih terpukul dengan kabar itu, juga lebih banyak diam dari biasanya. Hanya bertanya satu dua kali tentang sekolahku dan dagangan Ibu. Selebihnya, diam. Ayah berusaha menampilkan sikap tenang di hadapanku, meski aku tahu ia tentu juga sangat sedih.

Aku melihat Baron melintasi lapangan. Aku kembali teringat kejadian kemarin, dan bernapas lega saat melihat Baron tampaknya sehat-sehat saja. Seperti biasanya.

Kami sempat bertatapan sekilas, namun ia hanya diam sambil terus berjalan meninggalkan lapangan, tak membalas senyumku. Aku sebenarnya ingin sekali bertanya kabarnya, juga tentang apa yang terjadi kemarin. Tapi berhubung saat ini suasana hatiku sedang buruk, juga karena Baron tampak dingin, aku mengurungkan niat. Setidaknya aku sudah tahu jika Baron baik-baik saja.

Sepuluh menit berlalu namun Amel belum juga muncul. Apa mungkin dia langsung ke kelas setelah dari toilet? Sudahlah, lebih baik aku kembali saja ke kelas.

Aku baru saja bangun dari duduk saat tiba-tiba lenganku dicekal seseorang. Genggamannya sangat kuat di lenganku. Aku terkesiap saat mendapati teman-teman Baron menghadangku. Ternyata yang mencekal lenganku adalah Ade. Mereka bertiga tersenyum sinis padaku, tanpa mau melepaskan cekalannya meski aku menarik tanganku.

"Kalian mau apa?! Lepasin tanganku!" Aku berusaha berontak. Tapi mereka sama sekali tak mendengarkan, justru Ade mencekalku lebih kencang. Aku meringis, rasanya kulit lenganku sudah pedas dalam genggamannya.

"Lo kira lo bisa tenang sekarang? Setelah lo bikin Baron menjauh dari kami, hah?!" Ade membentakku.

"Aku ga pernah bikin Baron menjauh dari kalian. Bahkan aku ga tahu masalah kalian apa. Jadi tolong lepasin tanganku, aku mau ke kelas!" Mereka menghiraukanku begitu saja. Aku mulai gentar, namun aku tetap berusaha mengendalikan diri.

"Eh, lo pikir Baron itu baik sama lo, ngedeketin lo, itu semata-mata karena emang dia tulus sama lo? Enggak! Dia itu baik cuma karena ada maunya! Karena dia mau manfaatin lo! Jadi lo ga usah seneng apalagi pede Baron ngebelain lo!" ucap Arman persis di depan wajahku. Aku mendesis. Bukan karena ucapannya, namun karena lenganku yang sudah kebas, juga sakit.

Tepat di saat aku mencoba menarik kembali tanganku, cekalan Ade terlepas begitu saja. Baron tiba-tiba saja muncul dan langsung mendorong Ade kasar, Arman dan Aan yang berdiri di belakangnya ikut terhempas jatuh, terdorong oleh tubuh Ade yang persis menimpa mereka.

Aku yang tanpa pegangan refleks ikut terjatuh ke belakang, untunglah Baron segera meraih lenganku, menahanku agar tidak jatuh. Setelah aku kembali berdiri, Baron segera menatap marah ketiga temannya. Ku lihat matanya sama merahnya dengan wajahnya, menahan amarah.

"Kalian cuma punya masalah sama gue, bukan sama dia! Sekali lagi kalian berani nyentuh dia, kalian bakalan berhadapan sama gue!" ucap Baron dingin, namun begitu bertenaga. Aku tidak sadar sampai menahan napas.

Ade, Arman dan Aan bangkit, balik menatap Baron-dan juga aku- penuh kebencian. Lantas pergi tanpa berkata-kata. Setelah mereka hilang dari pandangan, Baron menoleh padaku. Wajahnya masih merah padam, namun tidak separah tadi.

Mimpi dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang