5

12 3 0
                                    

Suasana kafe sangat ramai sejak pukul 6 sore tadi. Pengunjung yang baru saja pergi langsung digantikan oleh pengunjung yang baru datang. Begitu terus hingga malam. Bahkan semua meja terisi oleh pengunjung. Aku, Ajeng dan Ben pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melayani semuanya. Bolak balik ke belakang membawa cangkir kotor dan kembali lagi dengan nampan-nampan pesanan. Note kecilku stand by di kantong celemek.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.30. Tak terasa sudah dua jam nonstop aku melayani pelanggan. Bahkan baju kaos berkerah yang ku kenakan, baju karyawan Coffee Cafe, hampir basah oleh keringat. Aku sudah memperkirakan situasi ini sebelumnya. Seperti Sabtu-Sabtu sebelumnya.

Aku meletakkan kertas pesanan di meja barista. Baru saja ada sepasang muda mudi yang memesan Cappuchino dan Black Coffee. Bang Hendra bersama Bang Hendri, kembarannya, bahu membahu membuatkan pesanan yang menumpuk. Aku berlalu ke belakang, membawa cangkir-cangkir kotor. Ku lihat di bak cuci piring sudah menumpuk piring-piring dan cangkir kotor. Aku memutuskan untuk mencucinya karena Ben dan Ajeng sedang sibuk melayani pelanggan di depan. Ku dengar bel tanda pesanan siap, dibunyikan berkali-kali oleh si 'kembar barista', bosku.

Tanganku cekatan menyabuni dan membilas dan mencuci semua piring dan cangkir. Lantas mengelap dan menyusunnya ke dalam nampan untuk kemudian ku antarkan lagi ke meja barista. Semua pekerjaan harus dikerjakan secepat dan seefisien mungkin. Mengingat karyawan di sini yang hanya beberapa orang.

Saat hendak mengantar cangkir kopi ke meja barista, aku berpapasan dengan Ajeng yang membawa setumpuk cangkir kotor. Wajahnya kelihatan lelah dan berkeringat.

"Cornia, nanti kalau udah selesai nganter cangkirnya, layani pengunjung yang duduk di dekat jendela paling ujung, ya. Kasian dari tadi udah lama nunggu, aku sama Ben juga sama-sama sibuk ngelayanin yang lain," pintanya. Aku mengangguk. Ok.

Aku merapikan celemek dan menggenggam note dan pena. Menghampiri pengunjung yang disebutkan Ajeng. Suara musik yang tersambung ke speaker kafe menambah hingar bingar suasana.

Aku menghampiri seorang lelaki yang tampak sedang asik mengobrol lewat telpon itu. Ia duduk menghadap jendela, ke arah jalan raya yang ramai. Membelakangi hiruk pikuk suasana kafe sambil sesekali terkekeh pelan. Aku menunggunya hingga selesai menelpon.

Aku melirik ke seberang ruangan, nampak Ben yang tengah bolak balik melayani pengunjung. Wajahnya sama lelahnya seperti Ajeng. Aku menghela napas. Beginilah perjuangan kami demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Memeras keringat dan tenaga.

"Ehem."

"Eh?" Aku tersentak dari lamunan. Karena asik melamun aku jadi abai dengan pengunjung tadi. "Mau pesan ap..." Kata-kataku menggantung saat menyadari bahwa lelaki yang berada di depanku ini adalah Baron. Ia tersenyum samar, hampir tak terlihat.

"Baron? Kamu ngapain di sini?" tanyaku refleks. Dia terkekeh pelan. "Lo nanya ngapain gue disini? Ya buat minum lah, apalagi?" balasnya. Ia menyisir rambut ikalnya ke belakang dengan jari, tangannya yang lain mengetuk-ngetuk meja pelan.

Sepersekian detik aku hanya bengong menatapnya. Sibuk dengan pikiranku sendiri hingga dia kembali bersuara. "Gue pesan satu Cappuchino dingin ya, sama sebotol mineral water."

Aku buru-buru mencatat pesanannya di note kecilku dan berbalik tanpa basa basi lagi. Huh... Ngapain dia ke sini lagi? Semoga ga macem-macem, deh.



Jam menunjukkan pukul 22.45. Ben membawa bertumpuk-tumpuk cangkir kotor, mengantarnya ke belakang untuk dicuci oleh Ajeng. Sementara aku bertugas mengelap semua meja dengan kain basah. Kafe sudah kosong karena sebentar lagi tutup. Bang Hendra sengaja mencantumkan jam buka kafe di depan pintu sehingga setiap pengunjung bisa tahu kapan kafe tutup.

Mimpi dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang