4

20 4 0
                                    

"Hah?! Baron minta maaf?! Kamu serius?" Mata sipit Amel membesar setelah mendengar ceritaku. Aku tertawa melihat ekspresinya yang lucu.

"Kamu serius? Kamu yakin ga salah denger?" tanya Amel lagi, memastikan. Aku mengangguk. Tawaku mulai hilang seiring kekagetan Amel yang mereda.

"Tapi kok bisa, ya?" tanya Amel lagi, kali ini untuk dirinya sendiri. Dia menatapku, aku mengangkat bahu. Mana aku tahu.

Aku mendongak, menatap langit yang gelap. Mendung. Kami sedang duduk di pinggir lapangan sepak bola. Baru saja selesai pelajaran olahraga.

Teman-teman sekelasku sudah bubar, pergi mengganti baju. Tadi, saat sedang olahraga, aku sempat berpapasan dengan Baron dan gengnya. Ekspresinya biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa kemarin. Aku juga tidak ambil pusing dengan itu. Yang penting dia tidak menjahiliku lagi. Itu sudah cukup.

Satu dua tetes gerimis pertama menimpa pipiku, kemudian keningku. Lama-lama makin deras. "Ke kelas, yuk! Udah gerimis nih, kayaknya bentar lagi hujan deras, deh," ajak Amel. Aku mengangguk, "Yuk!". Kami berlarian menuju kelas.



Suasana kelas riuh oleh seruan riang teman-temanku yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas. Hendak buru-buru pulang karena di luar gerimis mulai lebat. Hari ini kami pulang lebih awal karena Pak Joko, guru pelajaran Sejarah yang mengajar di jam terakhir tidak masuk. Beliau sedang ada tugas penting dari kepala sekolah. Entah tugas apa, kami mana peduli, yang penting kami bisa pulang cepat dan terbebas dari PR meringkas satu bab materi pelajaran Sejarah yang isinya penting semua.

Aku memasukkan buku dan baju olahraga yang sudah berbau keringat ke dalam tas. Hari ini aku tidak membawa bekal, jadi tasku tidak terlalu penuh.

"Cornia, hari ini kita ga pulang bareng ga apa-apa, 'kan? Soalnya aku mau nemenin si Dion, sepupuku, ke toko buku. Dia minta ditemenin beli kanvas sama perlengkapan lukis," ucap Amel. Wajahnya memelas.

Aku tersenyum. "Iya, ga apa-apa kok. Aku bisa pulang sendiri, 'kan aku udah gede, tenang aja ga bakalan ilang," candaku.

"Yee udah tua begini siapa juga yang bakalan nyulik." Amel menoyor bahuku. Kami tertawa.

"Ya udah, aku duluan, ya. Udah dijemput."

"Ok."

Amel sudah berlarian keluar, menghilang di balik pintu. Kelas sepi. Hanya tinggal aku, Tari, Yoyo dan Gea yang sedang piket dan terakhir, si Baron. Dia masih duduk nyaman di bangkunya, sementara teman-temannya sudah pulang. Tumben sekali, biasanya dia yang menghilang duluan sebelum orang-orang mengambil tas. Sudahlah, aku tidak peduli. Itu, 'kan, bukan urusanku. Aku menyandang ranselku dan berjalan keluar meninggalkan kelas.

Setiba di gerbang sekolah, hujan tiba-tiba saja menderas. Diringi petir yang sesekali menyambar, membuat langit berkilat-kilat. Aku berteduh di dekat pos satpam yang kosong, tak jauh dari parkiran. Hujannya deras sekali, tidak ada tanda-tanda akan reda. Sementara aku tidak membawa jaket dan angkot yang ku tunggu tidak muncul-muncul. Jalanan bahkan sepi.

Telah lima belas menit aku menunggu namun angkot belum juga muncul. Aku sudah kedinginan karena tempias hujan. Aku memeluk tubuhku dengan kedua lengan, menghangatkan. Telapak tanganku basah sehingga plesternya terkelupas, hampir lepas karena lemnya habis. Aku akhirnya melepaskan plester itu dan membuangnya ke tong sampah. Membiarkan lukaku terbuka. Rasanya perih saat terkena air hujan.

Sambil menunggu, aku iseng mematut-matut luka di telapak tanganku. Meniup-niupnya saat terasa perih. Tampaknya tak lama lagi sembuh, karena kulitnya sudah hampir menutup. Rasanya repot sekali jika tangan kananku sakit. Semua pekerjaan jadi terhambat. Bahkan, tadi di kelas, saat membuat catatan rumus Matematika, Amel yang mencatatkannya untukku. Aku jadi merasa tidak enak karena merepotkannya terus.

Mimpi dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang