Hari pertama menjadi mentor Masa Orientasi Siswa Karissa malah menyakiti hati seorang siswa dengan perkataan yang keluar dari mulutnya tanpa sengaja.
Rasa bersalahnya pada Gavriil--seorang penyandang tuna wicara--membuatnya berusaha mendapatkan maaf...
Gavriil, Anak Bu Laras? Apa benar Gavriil yang itu? Tapi, siapa lagi yang bernama Gavriil di SMA Panca? Hanya ada satu Gavriil yang menyandang tuna wicara.
Oh, ya Tuhan. Karissa tidak mengerti kenapa dunia bisa sesempit ini? Karissa merasa bersalah pada Bu Laras karena dia pernah menghina kekurangan Gavriil walaupun itu termasuk hal tidak sengaja. Belum lagi Karissa mendengar cerita Bu Laras yang harus menunggu 10 tahun lamanya kehadiran Gavriil.
Karissa merasa sangat tidak enak. Bagaimana cara mengatakannya? Seharusnya dia tidak perlu sepusing ini. Banyak kok orang-orang di luar sana yang tidak pernah merasa bersalah setelah melakukan kesalahan. Seharusnya Karissa bersikap seperti itu, tapi Karissa bukan termasuk orang-orang tersebut.
"Kar..." Irene memanggil Karissa yang sedang memandang papan tulis dengan tatapan kosong. Ini sudah bel istirahat, biasanya Irene dan Karissa akan langsung lari terbirit-birit menuju kantin.
"Karissa?" Panggil Irene sekali lagi, "ini orang budek apa gimana, sih? Gue jadi ngeri dia kesambet."
"Karissa Arabella!" Kali ini Irene berteriak sambil mengguncangkan tubuh Karissa.
"Ihh, nih anak! Seharusnya gue yang nanya, lo kenapa?"
"Nggak pa-pa," Karissa menatap Irene intens membuat temannya itu risih.
"Lo kenapa sih kayak lesbi gitu?"
Karissa menoyor kepala Irene, "gue kalo lesbi milih-milih kali, mana mau gue sama yang modelan kayak lo!"
"Gue juga ogah, mana mau gue sama yang modelan rata kayak lo!"
"Nggak usah banyak bacot. Gue mau ngasih tau lo satu hal," Karissa menatap Irene serius.
"Apa? Jangan-jangan lo beneran lesbi, ya?" Irene menatap Karissa curiga.
Karissa berdecak, "ya nggaklah! Gue cuma mau bilang... Kalo ternyata Gavriil itu anaknya Bu Laras!"
"Bu Laras yang mana?"
"Duhhh, Ibu panti asuhan Buah Hati."
"Hah? Serius lo? Gavriil anak pemilik panti?"
Karissa mengangguk.
"Kok lo bisa tau?"
"Karena gue wawancara Bu Laras, terus dia cerita kalo punya anak yang sekolah di sini namanya Gavriil," jelas Karissa.
Irene menggelengkan kepalanya, "Heran deh gue, kenapa ya kayaknya hidup lo sekarang berkaitan sama Gavriil?"
"Hah? Maksud lo?"
"Ya gitu, nggak di mana-mana pasti pembahasannya sama. Gavriil!" Sekarang Irene yang menatap Karissa intens.
"Apa?!"
"Jangan-jangan, Kar!" Suara Irene terdengar serius.
"Jangan-jangan apasih?"
"Jangan. Jangan kita menyia-nyiakan jam istirahat kita yang cuma 40 menit. Yukk, ke kantin, gue laper banget." Setelahnya ia kabur agar tidak terkena amukan Irene.
"Sialan lo, Ren!" Karissa menimpuk Irene dengan tempat pensil--yang mana malah mendarat mulus di lantai tanpa mengenai Irene.
***
Untuk membunuh rasa penasaran di sinilah Karissa berada masih dengan menggunakan seragam sekolah. Berdiri di depan pintu panti asuhan. Entah kenapa jantungnya malah berdetak tak karuan. Menarik napas dan menghembuskan secara perlahan, kemudian tangannya terangkat untuk mengetuk pintu.
Tok. Tok. Tok.
Karissa menggigit bibir bawahnya. Sudah hampir satu menit tapi tidak ada tanda-tanda yang ingin membukakan pintu.
"Apa gue pulang aja ya?" Tanyanya pada diri sendiri merasa tidak yakin, "oke sekali lagi, kalo nggak ada yang buka juga baru gue pulang."
"Bismillah." Kemudian tangannya mulai mengetuk pintu kembali dengan keras.
Dan, berhasil! Pintu itu perlahan terbuka. Menampilkan seseorang yang membuat napas Karissa seketika berhenti. Oh, Ya Tuhan. Ternyata benar dugaan Karissa.
"Ha--hai!" Dengan wajah idiotnya Karissa melambaikan tangan pada orang di hadapannya. Gavriil!
Gavriil mengerutkan alisnya menatap Karissa dari atas sampai bawah.
"Hmm... Gue ke sini mau ngasih bola buat Rio, gue kemarin janji mau ngasih dia bola." Karissa menunjukkan bola yang dibawanya.
Gavriil menyingkirkan tubuhnya ke samping memberi jalan untuk Karissa. Ternyata siswi yang berkunjung dari SMA Panca salah satunya Karissa.
Baru beberapa langkah memasuki panti terdengar teriakan seseorang. "Kak Karissa!!"
Karissa segera menghampiri bocah yang ingin ia beri bola. Ternyata cara ini berhasil memasukkan Rio ke dalam rencananya agar semua pertanyaan dalam benaknya hilang. Dan terjawab sudah bahwa Gavriil benarlah anak Ibu Laras--si pemilik panti.
"Hai." Karissa berjongkok dan mereka pun ber-highfive.
"Woahhh... Itu kakak bawa bola buat siapa?" Mata Rio terlihat berbinar.
"Buat Rio dong, kan kakak udah janji mau kasih Rio bola." Karissa memindahkan bola yang berada di tangannya ke tangan Rio.
"Yeaayyy... Rio seneng banget, Kak! Makasih ya..." Rio memeluk Karissa, sebelum akhirnya menghampiri teman yang lain untuk diajak main bola bersamanya.
Saat Karissa berdiri dari jongkoknya dan berbalik ia terkejut menemukan Gavriil yang berdiri menjulang di hadapannya. Karissa mengelus dadanya.
"Gue cuma mau kasih bola aja kok buat Rio. Gue nggak bisa lama-lama, udah sore juga. Hmm, salam ya buat Bu Laras. Bye..."
Baru hendak melangkah tangannya dicekal oleh Gavriil. Karissa memutar badannya menatap Gavriil yang kini mengeluarkan pulpen dan note kecilnya. Seperti biasa Karissa menerima dan membacanya.
Terima kasih udah bikin Rio senang :)
Gadis itu kembali menatap Gavriil, lelaki yang kini tersenyum ke arahnya. Ini pertama kalinya Karissa menatap senyum Gavriil. Oh, atau ini pertama kalinya Karissa menyadari Gavriil tersenyum? Senyum yang menurut Karisa...
Ekhemm.
Menawan?
Hahhh, ya ampun, pasti Karissa sudah gila. Setelah berpamitan kembali Karissa benar-benar melangkah pergi dengan senyum Gavriil yang masih berputar-putar di kepalanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maaf ya lama. Aku selalu merasa gagal kalo nulis teenlit :( stuck berkepanjangan. Kalo cerita ini tiba-tiba hilang berarti aku unpublish ya :')