Seperti biasa Karissa berjalan dengan riang sepanjang koridor sesekali menjawab sapaan adik kelas. Semenjak menjadi OSIS banyak anak SMA Panca yang mengenalnya. Walaupun sebelum menjadi OSIS juga banyak yang mengenal Karissa, tapi tidak sebanyak sekarang.
"Selamat pagi penghuni kelas ku tercinta." Karissa berujar dengan lantang. Membuat beberapa murid yang berada di dalam kelas mengernyit serta menggelengkan kepala, ada juga yang menjawab sapaan Karissa.
"Tumben lo keliatan ceria. Abis dapet warisan, ya?" Tanya Irene setelah Karissa duduk di sebelahnya.
"Lo pikir bonyok gue udah mati sampe bagi-bagi warisan!"
"Ya kan biasanya orang dapet warisan senengnya bukan main."
Karissa membuka tasnya dan mengeluarkan kotak makan. Seketika membuat mata Irene berbinar.
"Tumben lo bawain gue bekal," Irene hendak menyentuh kotak makan itu sebelum tangannya dipukul Karissa.
"Enak aja! Ini buat Gavriil, sebagai permohonan maaf."
"Eh, Kar, kita temenan udah lama banget dan lo belum pernah ngasih gue bekal. Eh, giliran sama Gavriil orang yang baru lo kenal udah lo kasih bekal." Irene merenggut.
"Aduhhh, pacar aku marah." Karissa tertawa kecil, "pegang kata-kata gue, Ren. Kalo hari ini Gavriil maafin gue, gue bakal bawain lo bekal beserta minumnya."
Karissa berdiri, "do'ain gue kali ini keberuntungan berpihak pada gue. Byee, Irene sayangggggg." Setelah berteriak Karissa menghilang di balik pintu.
***
Gavriil yang baru saja datang saat tiba-tiba seseorang menyiram kepalanya dengan air--sontak membuat ia berdiri dengan terkejut. Air itu tidak hanya membuat rambutnya basah, tapi juga wajah serta sebagian bajunya.
Gavriil menatap sang pelaku yang tengah menatapnya dengan berkacak pinggang.
"Heh, gagu! Baru beberapa hari di sini aja lo udah ngambil semua perhatian guru-guru. Seangkatan juga tau siapa yang paling pinter! Dan tiba-tiba lo masuk gitu aja bikin gue ketendang jadi murid paling pinter diangkatan ini!" Gavriil tidak begitu mengenal gadis di depannya, tetapi ia tahu betul gadis di depannya ini teman sekelasnya.
Bukan salah Gavriil jika dia lebih dulu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Bukan salah Gavriil juga jika guru-guru lebih berpusat padanya. Kalau dia bisa memilih, dia juga tidak akan mau masuk ke kelas XII-IPA1--yang katanya kelas unggulan dengan murid-murid pintar di dalamnya. Jika saja dia bisa memilih, dia ingin berada di kelas biasa-biasa saja.
"Orang kayak lo itu nggak pantes sekolah di sini. Seharusnya orang yang gagu kayak lo tuh, sekolah di sekolah berkebutuhan khusus!" Dengan tidak memikirkan perasaan Gavriil gadis itu dengan lancar menghina.
"Kak Angel!" Teriakan itu membuat semua mata yang berada di dalam kelas menoleh. Orang itu berjalan hingga berdiri di samping Gavriil--di depan Angel.
"Lo bocah, ngapain di situ?! Lo pacarnya si gagu?"
"Dia punya nama, dan namanya bukan gagu!"
"Semua orang di sini juga tau kalo dia gagu. Jadi sebutan itu pantes buat dia," Angel tidak segan-segan menunjuk Gavriil.
"Oh, jadi gini cara orang pinter ngomong? Lo nggak malu sama gelar yang udah lo dapet? Katanya sih anak paling pinter seangkatan, tapi cara ngomongnya lebih mirip orang paling bego di bumi!"
Nafas Angel memburu pertanda emosinya tak tertahankan lagi.
"Lebih baik orang yang nggak bisa ngomong tapi nggak pernah nyakitin hati orang, ketimbang sama orang yang bisa bicara lancar tapi dengan enaknya menghina orang lain. Seharusnya orang tua lo ngasih nama bukan Angel, tapi Lucifer. Karena lo nggak lebih dari sekedar iblis yang nggak punya hati!" Setelah mengucapkan itu Karissa menarik tangan Gavriil keluar dari kerumunan orang banyak--yang hanya menjadi penonton tanpa berani melerai. Lagi pula siapa yang berani melawan Angel?

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Just Words
Fiksi RemajaHari pertama menjadi mentor Masa Orientasi Siswa Karissa malah menyakiti hati seorang siswa dengan perkataan yang keluar dari mulutnya tanpa sengaja. Rasa bersalahnya pada Gavriil--seorang penyandang tuna wicara--membuatnya berusaha mendapatkan maaf...