Benar saja selepas bel pulang berbunyi Karissa langsung menuju kelas Gavriil. Mengumpat di belakang tembok sambil menunggu Gavriil keluar dari dalam kelasnya. Sampai sosok itu muncul, anak laki jangkung yang beberapa hari ini membuatnya merasa bersalah.
Berjalan perlahan Karissa mulai mengikuti Gavriil. Jantungnya berdegup kencang, dia gugup dan takut, entah apa yang ia takutkan. Tangannya terulur hendak menyentuh pundak Gavriil. Namun, tiba-tiba sebuah tepukan lebih dulu mendarat di pundaknya membuat ia terkejut dan refleks membalikkan badan.
"Lo ngapain kayak copet gitu?"
"Ya, ampun! Lo bikin gue kaget aja! Gue mau minta maaf sama Gav--" Karissa kembali membalikkan badannya dan sudah tidak ada Gavriil di sana. "Tuh, kan ilang. Lo sihh!"
"Lah, kok lo jadi nyalahin gue? Emang lo mau minta maaf sama siapa?" Tanya Rafis--pelaku yang mengagetkan Karissa.
"Gavriil, gue mau minta maaf sama dia." Mata Karissa mencari-cari Gavriil, dan sosok itu ada di sana--ketutupan beberapa orang yang sedang berjalan di koridor. "Nahh, itu dia! Gue duluan ya kak, byee..."
Karissa berlari menghampiri Gavriil, bahkan gadis itu beberapa kali menabrak orang. Dengan napas terengah-engah Karissa melihat Gavriil sedang membuka gembok pada sepedanya. Kening Karissa mengkerut, kenapa Gavriil naik sepeda di saat semua anak laki-laki berlomba memamerkan motor?
Karissa menggeleng-gelengkan kepalanya, bukan saatnya membahas sepeda Gavriil. Dia harus meminta maaf kepada Gavriil segera.
Mata Karissa terbelalak saat Gavriil mulai mengayuh sepedanya. Gadis itu berlari menghampiri Gavriil menghadang jalan Gavriil dengan merentangkan tangannya. Gavriil yang terkejut dengan kedatangan Karissa yang tiba-tiba itu langsung mengerem sepedanya mendadak dan naas roda depannya membentur tulang kering Karissa hingga gadis itu jatuh terduduk dan meringis kesakitan.
"Aduhhh," Karissa memegangi tulang keringnya yang terasa begitu nyeri.
Dengan segera Gavriil turun dari sepeda, lalu berjongkok di hadapan Karissa yang sedang meringis kesakitan.
Karissa yang memang dasarnya sulit untuk menahan emosi pun mengeluarkan kata-kata pedasnya, "bisa nggak sih naik sepedanya liat-liat? Gue ini orang loh bukan patung."
Gavriil mengerutkan keningnya saat mendengar kemarahan Karissa. Sudah jelas dari sisi manapun Karissa lah yang salah karena tiba-tiba berdiri menghadang saat Gavriil sedang mengayuh sepedanya. Cowok itu mengeluarkan note kecil serta pulpen dari dalam sakunya. Menulis sesuatu di sana, merobeknya, kemudian menyerahkan pada Karissa.
Karissa menerima kertas itu, sebaris tulisan yang terukir rapi itu dibacanya.
Maaf, tapi seharusnya kamu nggak berdiri di tengah biar nggak ketabrak.
Karissa langsung tersadar, kenapa dia marah-marah? Sedangkan yang salah memang dirinya. Dan kenapa pula Gavriil yang meminta maaf? Seharusnya ia yang meminta maaf pada Gavriil.
Karissa mendongak untuk menatap Gavriil, tapi sayangnya Gavriil sudah menghilang dari hadapannya bahkan sepedanya pun tidak ada.
Karissa menggeram pada diri sendiri, "Kenapa sih gue bego banget?!" Gerutu Karissa.
***
"Dan lo baru sadar kalo lo sebego itu?" Tanya Irene geram, "seharusnya lo yang minta maaf bukan malah dia yang minta maaf sama lo. Gue jadi punya firasat buruk,"
"Nggak usah sok nakut-nakutin gue." Sahut Karissa.
"Dua kali lo bikin masalah sama orang yang sama! Dan gue yakin banget kalo Garviil nggak bakal mau kasih maaf ke lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Just Words
Fiksi RemajaHari pertama menjadi mentor Masa Orientasi Siswa Karissa malah menyakiti hati seorang siswa dengan perkataan yang keluar dari mulutnya tanpa sengaja. Rasa bersalahnya pada Gavriil--seorang penyandang tuna wicara--membuatnya berusaha mendapatkan maaf...