A C H T

9 2 1
                                    

Kini Ozy dan Pili tengah berada di salah satu kedai es krim terfavorit di Bandung. Seperti janjinya, Ozy yang akan membayar semua jajanan mereka hari ini.

"Lo mau pesen apa?" Tanya Ozy setelah mereka duduk.

"Gue pengen es krim vanilla aja, tapi pake oreo sama kit kat." Jawab Pili.

Mendengar itu, alis Ozy terangkat dan memasang muka bingung, "Lo ga salah? Masa iya itu disatuin?"

Pili menoyor Ozy pelan. "Ga disatuin cungkring! Pisah!"

"Ck udah gue traktir juga. Masih aja hina gue cungkring. Gatau terimakasih lo! Dasar sipit." Dumel Ozy sebal.

"Ah udah deh. Lo kebanyakan ngomong kring. Mending pesen sekarang deh. Nanti keburu sore."

"Lu kira gue bel sepeda kring." Ozy pun memanggil waiters disana dan memesan keinginan mereka.

Setelah selesai makan es krim sepuasnya, Pili segera mengajak Ozy pulang. Bukan karena ia bosan, tapi ia takut semakin sore jalanan akan semakin macet. Dan itu akan lebih melelahkan nantinya.

"Pit, gue nginep di rumah lo aja ya? Besok kan weekend dan kita ada tugas bareng ,kan. Jadi biar ga ribet, gue nginep aja ya?" Ujar Ozy sambil tetap fokus mengendarai motornya.

"Dih ogah banget kring. Enak di elo, ga enak di gue. Kasian nyokap gue juga, bebannya nanti nambah karena hobi makan lo." Balas Pili.

"Heh! Sembarangan! Nyokap lo gaakan keberatan ko sama calon mantu." Goda Ozy sambil menaik-turunkan alisnya.

Blushing. Pipi Pili mulai memerah. Untung saja hari sudah mulai gelap.

Pili memukul pelan bahu Ozy. "Apaan sih."

------

"Dhan, Nasya ko ga ngampus hari ini?" Tanya Rio yang tak sengaja papasan dengan Dhanu saat menuju kantin.

"Gatau." Jawab Dhanu acuh tak acuh. Lalu berlalu begitu saja bersama Finka. Entah bagaimana jalan pikiran Dhanu. Adiknya tak ada pun ia tak ambil pusing sama sekali.

Mendengar jawaban dan melihat respon Dhanu, sepertinya ada hal yang terjadi diantara kedua kakak-beradik tersebut.
"Gue rasa ada yang ga beres." Batin Rio.

Rio akhirnya melanjutkan perjalanan yang tadi sempat tertunda sembari mengirimi pesan pada gadis yang tiba-tiba menghilang dan berusaha menghubunginya melalui sambungan telepon. Tapi sayang, handphone gadis tersebut mati, ia hanya terhubung ke pesan suara.

Jika kalian bertanya apa ia khawatir, jawabannya adalah iya. Bagaimanapun juga gadis tersebut menjadi salah satu orang penting di hidupnya.

------

"Fanchaaa!!!" Panggil seorang lelaki yang otomatis menghentikan langkah Fancha.

Fancha menoleh. "Eh, ada apa Ryan?"

"Engga ko. Lo mau ke perpus kan? Gue ikut bareng lo ya? Gue juga lagi nyari referensi buat tugas." Ujar Ryan.

Fancha mengangguk sambil tersenyum. "Yaudah ayo."

Manis. Batin Ryan. Ia lantas merangkul pundak mungil Fancha.

Seorang lainnya di balik dinding lain memotret kebersamaan mereka. "Bahkan gue bisa dengan mudah menghancurkan kalian."

------

Deva entah kenapa ingin menuju perpus. Pikirannya terus tertuju pada satu nama.

Karna terlalu buru-buru, ia justru menabrak seorang gadis yang sedang membawa buku banyak sekali dan kejadian itu bersamaan dengan dering notifikasi dari handphonenya.

"Eh sorry sorry gue ga sengaja." Panik Deva.

"Ga apa apa ko." Balas gadis itu dengan kepala yang terus-menerus menunduk. Ia langsung memunguti bukunya satu per satu, berusaha secepat mungkin.

"Biar gue bantu." Ujar Deva setelah melihat pesan yang masuk sebelumnya.

"Thanks tapi ga perlu, kok. Gue bisa sendiri dan gue gamau jadi bahan gosip satu kampus karna dibantuin sama elo." Balas gadis tersebut tanpa melihat lawan bicaranya.

Tanpa menghiraukan ucapan gadis tersebut, Deva langsung memungut sisa buku yang masih berserakan dan setelah tubuhnya tegak kembali, ia memfokuskan tatapannya, "Lo takut sama gue? Kalau ngomong itu liat orangnya. Gue bukan orang jahat, jadi santai aja lagii."

Mendengar hal tersebut, perlahan tapi pasti gadis tersebut memberanikan diri menatap Deva, "Bukan gitu maksud gue. Tapi gue gak mau kena gosip dan kemudian diserang sama fans-fans lo di kampus ini." Jelasnya.

Deva tersenyum menenangkan, " Apa bener segitu terkenalnya gue?"

Gadis tersebut menghela napasnya lelah, Deva ini kenapa susah sekali diberi tahu. Lihat, sekarang semua mata sedang curi-curi pandang ke arah mereka. Bencana ini namanya. "Masa lo gak sadar, sih? Iya lo se-terkenal  itu. Makanya gue gak mau kena imbas dari ketenaran lo. Kalau sampe kena, bisa ribet hidup gue. Sekarang, balikin sini bukunya."

Deva mendengus, "Ck udah deh ga apa-apa. Gak usah selebay itu juga. Udah ini sebagian biar gue yang bawa. Mau dikemanain nih buku?" Kukuh Deva sambil tetap mempertahankan sebagian buku gadis itu. "Udah lo segitu aja biar ringan. Ini biar sama gue. Ayo!"

Gadis itu menggeleng gemas, "Ayo, ayo, kaya tau aja bukunya harus dikemanain! Gue kan belum jawab tadi."

Deva terkekeh kecil melihat wajah gadis tersebut, "Yaudah, yaudah, jadi ini mau dianterin kemana?"

Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala lalu menjawab, "Ke ruangan prodi."

Deva mengangguk dan mengikuti langkah gadis tersebut, lebih tepatnya berusaha menyamakan agar posisinya tetap sejajar.

Berbeda dengan Deva yang terlihat santai, gadis manis ini justru sedang bergemuruh. Lelaki disampingnya saat ini adalah lelaki yang sama yang selalu ia harapkan. Lima tahun bukan waktu yang sebentar bukan dalam proses 'menunggu'?

"Lo harus tanggung jawab kalau setelah ini banyak haters nyerang gue." Desis gadis itu tajam. Deva hanya terkekeh.

------

"Yel, lo kenapa sih? Lo ga fokus banget hari ini. Lo juga keliatan kacau." Tanya Cyntia setelah mereka selesai kelas.

Gabriel menghembuskan napas kasar, "Gue lagi bingung nyari Nasya." Jawab Gabriel singkat padat jelas.

"Lah? Emang dia kemana?" Tanya Cyntia bingung.

"Ya mana gue tau dodol." Sebal Gabriel dan langsung menoyor dahi Cyntia. "Kalau tau, ya gue gaakan bingung."

Cyntia menggaruk tengkuknya. "Sorry Yel. Khilaf. Emang dia gak ada ngabarin lo? Biasanya kan dia selalu sama lo."

"Gak ada. Makanya ini tuh tumben banget dia kaya gini. Gak biasanya dia ngilang gitu aja, hilang tanpa jejak." Gabriel pusing sungguh. Dia sudah mencoba mencari ke berbagai tempat yang sering dikunjungi kalau Nasya sedang ada masalah, tapi dia tidak menemukan keberadaan Nasya sedikitpun. Gadis itu menghilang tanpa meninggalkan jejak, begitu bersih. Dan ia sendiri sudah khawatir setengah mati.

"Udahlah Yel. Gausah dipikirin sampe segitunya. Yang ada lo puyeng. Gue bisa bantu lo. Beres makan ini, lo ikut gue." Ujar Galuh tiba-tiba yang baru saja memesan makanan untuk mereka.

Mendengar hal tersebut, baik Cyntia maupun Gabriel sama-sama bingung dengan maksud Galuh. Dan memilih untuk diam mengikuti saja kemana alurnya.

------

SELAMAT MEMBACAA!
❣️❣️❣️❣️❣️

HARTPROBLEMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang