T I E N

10 2 1
                                    

Kondisi Nasya kian hari kian membaik, ia sudah di perbolehkan pulang hari ini dan memilih tinggal bersama Gabriel di lantai empat cafenya untuk sementara. Bukannya ia mau membuat kedua orangtuanya khawatir, hanya saja ia belum siap untuk bertemu Dhanu. Lagipula Gabriel bilang kedua orangtuanya sedang ada urusan di luar kota sehingga memang sedang tidak di rumah. Dan ia sendiri malas jika hanya berdua di rumah dengan Dhanu.

"Yel, gimana kalau nanti mereka tau soal kita?" Tanya Nasya khawatir.

"Ga akan ko. Lo tenang aja. Lo aman disini. Jadi, apa lo udah bisa cerita kenapa malem-malem lo jalan sendirian dengan pikiran kosong lo itu?" Jawab dan tanya Gabriel.

"Gue gamau mereka tau. Belum waktunya mereka tau." Ujar Nasya menjeda ucapannya. "Dan soal itu, gue berantem sama Dhanu. Berantem hebat sama dia."

"Gara gara?" Tanya Gabriel datar. Mendengar nama Dhanu, emosi Gabriel mulai terpancing. Selalu seperti ini, Dhanu dan emosinya. Anak satu itu benar-benar susah sekali diberitahu. Gabriel masih diam, menunggu penjelasan lebih lanjut dari Nasya.

Nasya menghela napas kasar, "Waktu itu gue ketemu mereka lagi jalan di koridor kantin. Semuanya baik-baik aja awalnya. Tapi pas gue lewat di deket mereka, Finka kesandung. Dia jatuh, Yel. Dan Dhanu kira itu ulah gue. Padahal gue ga ngelakuin apapun ke Finka. Malemnya Dhanu marah-marah sama gue. Dia bentak-bentak gue. Lo tau sendiri Dhanu kalo emosi kaya apa. Tapi yang paling bikin gue kesel saat dia bantingin macbook gue gitu aja. Lo tau sendiri kan perjuangan gue gimana demi beli itu?"

Gabriel berdecak, "Gila ya. Tuh anak otaknya isi apa? Adeknya sendiri di gituin." Kesal Gabriel. "Segitu butanya apa dia sama cinta?! Dasar bucin!" Gabriel tau bagaimana perjuangan gadis di depannya yang selalu berusaha mandiri dan berjuang sendiri untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ya, orang tuanya terutama mamanya lebih menyayangi Dhanu, seolah Dhanu yang paling benar. Sedangkan ayahnya acuh tak acuh. Sehingga Nasya harus mampu berdiri sendiri. Itulah mengapa Nasya lebih dekat dengan Gabriel dibandingkan keluarganya sendiri.

"Udah sih biarin aja. Udah lewat juga." Balas Nasya santai.

"Yel, 3 hari lagi kampus ada acara kan? Dan gue bakal tampil disana. Jadi besok juga gue mulai ngampus lagi. Gue masuk kampus ga masalah kan?" Ujar Nasya mengalihkan pembicaraan sebelum Gabriel semakin emosi terhadap Dhanu.

"Terserah lo sih. Asal lo ga kecapean aja. Nanti gue yang anter jemput lo ya! Dan gaada penolakan! Gue harus pastiin lo baik-baik aja. Oh iya, bokap nyokap lo perlu dikasih tau soal ini apa gausah?"

"Okee boss! Ga perlu, Yel. Biarin ajalah."

"Yaudah kalo gitu sekarang lo tidur. Besok lo ada kelas pagi dan juga pasti lo bakal sibuk ini itu buat acara. Jadi lo harus persiapkan energi lo biar ga tumbang nantinya." Kata Gabriel sambil berlalu dari kamar tersebut.

"Yell.." Panggilan Nasya menghentikan langkah Gabriel tepat di pintu kamar tersebut. "Makasih.." Lanjutnya dan hanya dibalas senyum tipis oleh lelaki tersebut.

-----

Hubungan Cyntia dan Finka benar-benar berantakan semenjak adu mulut tempo hari.

Baik Cyntia maupun Finka selalu menyibukan diri dengan kegiatannya masing-masing.

"Finkaaa!!!" Panggil seseorang saat ia tengah berada di koridor menuju perpus.

Finka menoleh. "Eh Rio, kenapa?"

"Engga ko. Lo mau kemana? Lo ga latihan buat opening kampus nanti?" Jawab dan tanya Rio beruntun.

"Gue mau ke perpus. Ngambil referensi buat nugas. Jadwal latihan gue masih dua jam lagi Yo." Ujar Finka. "Eh iya, Nasya udah masuk?"

Rio mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu ia menjawab "Dia belum masuk dan sama sekali gaada kabar."

"Oh." Balas Finka cuek. "Yaudah ya Yo. Gue duluan!" Pamit Finka.

Sejujurnya, Finka bertanya soal Nasya hanya sekedar basa-basi saja. Lagian dia juga tidak dekat, hanya sekedar tau dan pernah berkenalan. Jadi, ia tidak begitu peduli bagaimana kondisi gadis itu.

-----

Dua anak SMA ini sedang sibuk mengerjakan tugas penelitiannya di tempat-tempat bersejarah. Mungkin bagi beberapa orang, ini membosankan. Namun, bagi mereka ini justru sangat menyenangkan.

"Pitttt, abis ini kita mau kemana?" Tanya Ozy. Pili masih sibuk melihat-lihat fosil hewan purba disini.

"Pitttt...." Panggil Ozy. Masih belum dijawab.

"Pittttttt!!!!" Panggil Ozy lagi sudah mulai kesal. Dan Pili tetap saja sibuk memotret apa yang ada di depannya.

Karna kesal, akhirnya Ozy merebut kamera tersebut.

"Ihh lo apa-apaan sih Zy!!!" Bentak Pili.

"Elo tuh. Dipanggil ga nyaut-nyaut." Balas Ozy kesal.

"Apa sih? Pertanyaan lo penting?" Ketus Pili.

"Pentinglah. Abis ini kita mau kemana?" Ujar Ozy.

"Terserah lo deh hehe.. Gue ngikut aja.. Siniin kameranya.." Jawab Pili sambil terkikik kecil melihat muka Ozy.

"Hh emang kameranya lebih menarik dari gue ya? Lo sampe lupa ada gue disini." Dengus Ozy sambil mengembalikan kamera Pili.

"Lahh dia cemburu sama kamera hahaha..." Ledek Pili yang hanya dibalas cibiran dari Ozy.

----

Entah karena apa. Namun belakangan ini, keempatnya keliatan kurang kompak. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Walaupun mereka pasti berkumpul di cafe tapi pikiran mereka tidak disana. Tapi, ralat. Bukan berempat hanya bertiga. Gabriel sepertinya biasa saja.

"Muka lo semua pada kenapa sih?" Tanya Cyntia yang tak tahan dengan adegan diem-dieman.

"Emang muka gue kenapa? Perasaan tetep ganteng deh." Narsis Deva.

"Au ah Dev. Serah lo." Cuek Cyntia.

"Biasa kali Cyn. Mereka sibuk mikirin gebetan haha mau bikin surprise kayanya pas acara kampus." Celetuk Gabriel.

"Acieeee syukur deh lo pada gaakan jadi pria kesepian lagi hahaha..." Ledek Cyntia yang langsung mendapat toyoran kecil dari Galuh.

"Mirror pea! Lo juga jomblo." Sebal Deva.

Cyntia mendelik tak setuju pada Deva. "Wah, lo kalo ngomong suka sembarangan! Gue ini single bukan jomblo!"

"Dih, mau single kek mau jomblo kek, intinya kan sama-sama sendiri. Gausah membela diri, ngenes mah ngenes aja, Cyn!" Balas Deva sambil memberi tatapan menyebalkan.

Mereka pun tertawa bersama di tengah perdebatan itu. Mungkin nantinya mereka akan sibuk dengan kehidupan masing-masing, apalagi jika mereka sudah mempunyai pasangan. Momen berkumpul seperti saat ini akan jadi suatu hal yang langka dan sulit untuk direalisasikan di masa depan.

-----

Fancha sedang sibuk menyelesaikan tugasnya. Semenjak bekerja, waktu dia benar-benar padat. Kadang ia juga keteteran. Coba saja orang tuanya masih ada di sini. Mungkin kehidupannya tidak akan seperti ini.

Sesungguhnya ia lelah, ia bahkan sering mengeluh pada kedua orang tuanya. Tetapi ia juga tahu bahwa kehidupan harus terus berjalan, ia masih diberi waktu untuk hidup, itu artinya ia masih harus terus berjuang. Ia harus bisa membuat kedua orang tuanya bangga melihatnya dari sana.

"Tenang, Fancha. Kamu pasti bisa lewatin semuanya." Semangatnya dalam hati. Kalimat ini seperti mantra bagi Fancha, yang akan selalu ia ingat ketika ia ingin menyerah dengan keadaan.

HARTPROBLEMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang