BAB 5

170 44 55
                                    


"Memang, ketika hal yang sangat kita inginkan terjadi pada waktu yang kurang tepat membuat kita hanya ingin menyalahkan takdir."

***

Kalau bukan karena seorang Panca, Syila tidak akan mau diajak bersantai sore di Taman Suropati, daerah Menteng yang terletak di Jakarta Pusat itu.

Pekerjaan hari ini sangat melelahkan hingga membuat perempuan itu terjangkit penyakit malas.

Saking malasnya Syila hanya mengenakan sweater panjang merah muda dan celana jins hitam dengan sneakers putih dan tas ransel. Sangat simple. Lalu, rambutnya ia kuncir kuda.

Namun, menurut seorang Syila, apa sih yang tidak ia lakukan buat Panca asalkan tidak melewati batas.

Mereka duduk di salah satu kursi taman.

"Kenapa sih lemes banget kelihatannya?" tanya Panca sembari menyodorkan air mineral kepada Syila.

Syila menghela napas, "Iya. Sebenernya aku males banget tahu nggak sih. Kalau bukan karena kamu, nggak bakal aku turutin jalan ke sini sore-sore." Syila memanyunkan bibirnya.

Bukan Panca jika tidak tertawa ketika melihat tingkah Syila yang menggemaskan. Ia tertawa sambil melihat orang yang lalu-lalang di depannya.

"Eh, gimana om Heri? Ada hubungin kamu lagi?" memang, salah satu niat Panca bertemu Syila adalah karena ingin membicarakan ini.

Syila memalingkan wajahnya dengan cepat ke arah Panca. "Lo sama aja deh kayak Trisa. Kemarin dia nanya hal yang serupa. Aku jadi curiga deh."

Panca hanya diam, tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Jika jawaban dari kekasihnya diucapkan dengan nada jutek, habislah dia jika meneruskan pembahasan yang dibenci Syila.

"Oke, kita ganti topik aja." Panca memutar bola matanya ke atas, tanda sedang berpikir mencari pembahasan. Hm, sepertinya tidak ada satu pembahasan pun yang terlintas di otak laki-laki itu.

Panca melirik kanan-kiri, melihat jam tangannya berkali-kali. Ia terlihat sangat gelisah, seperti menunggu sesuatu.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Tepat saat jarum jam yang panjang mengarah ke angka dua belas, terlihat gerombolan beberapa anak kecil mendekati Syila dan Panca.

Anak-anak itu sekitar enam orang, masing-masing membawa bucket yang cantik, bukan hanya berisi bunga, tetapi diselingi oleh beberapa snack, coklat, dan camilan yang tentunya membuat mata Syila tidak bisa berkedip melihat bucket itu.

"Kak, ini buat kakak yang cantik. Dari mas ganteng katanya," ujar salah satu anak gadis yang memegang bucket dan sembari memberikannya pada Syila.

Kedua sisi bibir Syila menyungging, ia menoleh pada Panca yang dari tadi memalingkan wajah pura-pura tidak tahu apa-apa.

Perempuan itu sangat tahu, semua bucket ini pasti dari kekasihnya, Panca.

Kemudian anak-anak yang lain memberikan bucket yang mereka pegang dengan bergantian dan cepat hingga membuat Syila kewalahan menyambutnya. Lalu, anak-anak itu pergi berlarian saling kejar.

"Dalam rangka apa ini?" tanya Syila sambil meletakkan bucket yang banyak itu ke kursi di sampingnya.

"Nggak, itu bukan aku."

Syila terkekeh melihat ekspresi wajah Panca yang serius sok berbohong itu. Tapi gagal karena di seluruh wajahnya seolah tertulis 'aku telah berbohong saat ini'.

"Malah ketawa." Kini Panca yang memanyunkan bibirnya. Seperti bocah yang tidak diberi uang jajan emaknya.

"Ih, sekarang kamu yaa yang manyun-manyun. Nggak cocok tahu. Udah tua," ujar Syila sambil menjulurkan lidahnya.

Sahabat 25 Miliar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang