BAB 16

92 22 12
                                    

"Mengetahui hal menyedihkan dari awal lebih baik daripada ketidak--tahuan yang terlampau dalam hingga terlambat menyadarinya, itu lebih menyakitkan."

***

Laki-laki bermata bulat dan berhidung mancung bak perosotan itu melemparkan senyumnya saat melihat kekasihnya sudah duduk di salah satu meja kafe. Ia melihat Syila yang sedang fokus pada ponselnya, hingga senyumannya pun tak dihiraukan.

"Syila!" Panca duduk di samping Syila dengan wajah cerah.

Di sampingnya, Syila hanya menengok sebentar lalu kembali fokus pada ponselnya.

Perempuan itu mengangkat ponsel sejajar dengan wajahnya. Senyumnya sangat semringah. Ia membenarkan sedikit rambutnya sebelum kembali tersenyum sepenuhnya menatap layar ponsel pintar itu.

"Kak Syena!" Syila berteriak kegirangan. Ia melambaikan tangannya kepada seseorang di seberang sana.

Panca yang sedari tadi tidak mendapatkan perhatiannya, kini mulai penasaran. Ia melirik ponsel milik Syila yang sedang melakukan video call.

Jantung Panca seketika mencelus, terasa sedikit sesak.

Ada yang membuatnya merasa sangat sedih mengetahui hal itu. Saat kekasihnya sedang sangat bahagia karena video call bersama Syena, laki-laki itu justru sebaliknya. Tangannya ia sumpal di bawah hidung untuk menahan kesedihannya.

"Oh iya, Kak. Ini aku lagi di kafe sama Panca," ujar perempuan itu sembari mengarahnya layar ponselnya pada wajah Panca. Panca hanya diam, menyunggingkan senyum terpaksa.

Syila kembali mengarahkan layar ponsel tepat di depan wajahnya. "Kak, kapan Kak Syena pulang, sih? Aku nggak sabar mau kenalin Kak Syena sama Panca." Syila tertawa ringan membayangkan bagaimana ekspresi Kakaknya saat bertemu kekasihnya yang sangat tampan itu.

"Eh, sebentar." Wajah Syila mendadak serius. Ia mengamati dengan betul layar ponselnya. Wajahnya sampai ia dekatkan ke ponsel untuk melihat lebih jelas.

"Kak Syena pake softlens, ya?" celetuk Syila merasa terkejut. Ia menggembungkan kedua pipinya. "Aku tuh juga pengen pake softlens, tapi aku takut, Kak. Kata Panca sih, aku udah cantik dari lahir, jadi nggak perlu pakai-pakai softlens, he he he." Tawa Syila menyebar lirih.

Sedari tadi Panca hanya bisa menyaksikan kekasihnya dalam diam. Bukannya ia tidak mau bersapaan atau mengobrol lewat video call bersama Syena, ia hanya tidak sanggup dan menahan rasa pedih yang amat ia rasakan.

Hati Panca ngilu menyaksikan itu semua. Jantungnya terasa berat seakan tak mampu memompa darah yang mengaliri otakknya.

Di sini, di kafe ini, siang ini, pikiran Panca kacau. Sungguh, air matanya ingin menetes, tetapi tertahan oleh senyum cerah kekasihnya.

Syila, kumohon.

"Oh, iya, bye, Kak!" Syila melambaikan tangan pertanda perpisahan. Dirinya menggeser tombol merah pada layar ponsel lalu meletakkan ke atas meja. Senyumnya masih merekah. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah saat ia bisa bertegur sapa dengan Syena, Kakak tercintanya.

Perempuan itu hampir melupakan Panca yang sedari tadi hanya diam saja. Ia menyunggingkan senyumnya. "Kamu mau minum apa?"

Tidak ada jawaban. Laki-laki itu justru mengusap kasar wajahnya.

Sahabat 25 Miliar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang