BAB 40

90 13 0
                                    

"Awal yang buruk akan membuat semua proses menjadi buruk, namun semua itu masih bisa diperbaiki untuk mencapai ending yang baik."

***

Sehari setelah kepergian Abah, rumah ini masih kental dengan suasana duka. Bukan hanya untuk keluarga Trisa, namun juga keluarga Panca terutama Pak Dodo. Sejak kemarin Pak Dodo terlihat sangat lesu dan terus memandangi foto almarhum Abah.

"Pa ...." Sakti duduk di sebelah Pak Dodo. Ia sangat paham jika Papanya merasakan duka yang lebih besar dibandingkan duka yang ia rasakan.

Pak Dodo mengusap wajah seorang pria yang tersenyum lebar dalam foto itu. "Harusnya kita bisa lihat anak kita nikah. Kenapa elu pergi duluan?"

Mendengar hal yang amat menyedihkan itu membuat Sakti merasa bersalah. "Maafin Sakti, Pa." Ia mengusap bahu Papanya itu. "Sakti terlalu lambat. Maafin Sakti, ya, Abah." Sakti berpindah memandang foto Abah dalam pigura yang dipegang Pak Dodo.

Dari ujung pintu, Trisa bisa merasakan bagaimana dua orang laki-laki itu sangat berduka kehilangan Abah. Ternyata bukan hanya dirinya ataupun keluarganya, tetapi Pak Dodo juga merasa sangat bersalah, apalagi saat janji Pak Dodo dengan Abah belum tercapai yaitu melihat Trisa dan Sakti menikah. Hal itu semakin membuat Trisa merasa sedih sekaligus kecewa dengan dirinya sendiri.

Maafin Trisa, Bah. Harusnya Trisa langsung terima lamaran Sakti waktu itu, Trisa terlalu egois, Bah.

Mata perempuan itu sampai mamanas dan berkaca-kaca membayangkan betapa inginnya Abah melihat dirinya dan Sakti menikah. Namun semuanya kini sudah berlalu, tidak ada gunanya disesali, yang paling penting adalah memperbaiki agar kejadian yang mengecewakan bisa dihindari.

"Trisa."

Suara yang cukup pelan itu berhasil menyadarkan Trisa dari lamunannya memandang Pak Dodo dan Sakti. Trisa berbalik perlahan melihat siapa yang baru saja memanggilnya.

Syila ada di belakangnya. Walaupun perempuan itu sudah sampai di Kotabaru kemarin sore, namun mereka belum banyak saling berbicara. Rupanya mereka masih merasa canggung satu sama lain setelah kejadian Trisa pergi dari rumah senilai dua puluh lima miliar yang sudah sah menjadi milik Syila.

Trisa hanya menatap perempuan itu tanpa berkata.

Sebenarnya Syila tidak yakin ingin mengatakan hal ini saat itu juga, dirinya beberapa kali menggigit bibir bawahnya. "Gue mau ngomong sama lo, Tris," ucap Syila perlahan sambil terus memainkan jari-jarinya di balik punggung.

Trisa sedikit menyunggingkan senyumnya. "Ngomong aja."

"Tapi enggak di sini, kita ke kamar lo, yuk!" ucap Syila cepat-cepat dan langsung menarik tangan Trisa menuju kamarnya. Syila sangat paham jika hal ini belum pantas untuk dilakukan mengingat suasana duka masih terasa sangat kental ditambah kerenggangan yang mereka rasakan.

Trisa hanya menurut. Mereka berdua sudah berada di dalam kamar Trisa dan yang pasti Syila sudah menutup pintu agar tidak ada orang yang menyaksikan.

"Ada apa?" tanya Trisa mulai penasaran melihat wajah Syila yang sedikit banyak telah berbeda, atau mungkin karena renggangnya persahabatan mereka menjadikan Trisa tidak lagi paham dengan kondisi yang sedang dialami Syila hanya dengan melihat wajahnya saja.

Setelah pintu tertutup rapat dan memastikan tidak ada yang melihat, Syila mengambil sesuatu dari dalam tas selempangnya. "Ini." Ia menyodorkan secarik kertas persegi panjang, terdapat logo sebuah bank di ujungnya.

Trisa hanya terdiam. Ia tidak paham dengan apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu.

"Tris, ini buat lo." Syila mengambil tangan Trisa dan memaksanya untuk menerimanya.

Sahabat 25 Miliar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang