Leo tidak bisa bernafas dengan tenang saat ini. Pasalnya, Rio menyuruhnya untuk menemui pemuda itu di rooftop sekolah. Tempat sepi dan tidak pernah ada yang mengunjungi karena tidak ada yang diizinkan untuk menginjakkan kaki ditempat itu. Lalu, mengapa Rio bisa mendapatkan akses untuk ketempat itu? Entahlah, bagaimana caranya Rio bisa membuka pintu yang menghubungkan lantai teratas dengan rooftop itu, Leo tidak peduli. Yang Leo fikirkan saat ini adalah keselamatannya. Rio memang tidak menunjukkan emosi apapun saat pemuda itu tahu kalau gadis incarannya terluka karena dirinya. Iya, Rio tidak mungkin meledak didepan pujaan hatinya bukan? Dan untuk saat ini Leo hanya bisa berdoa semoga dirinya selalu dalam lindungan Tuhan.
Leo mendorong pintu kaca yang menghubungkan lantai teratas gedung dengan rooftop dengan perasaan ragu. Dalam hati ia terus melafalkan doa agar ia masih bisa melihat matahari besok. Leo bergidik ngeri membayangkan apa yang akan Rio lakukan kepadanya.
Langkah pertamanya menginjakkan kaki di rooftop ini disambut dengan angin sepoi-sepoi yang membelai lembut wajahnya. Netra coklatnya menangkap sosok sahabatnya yang kini sedang duduk dibangku yang telah tak terpakai dengan posisi membelakanginya.
Leo berjalan dengan langkah santai, namun jangan salah, hatinya kini sedang meragu. Apa yang akan dilakukan Rio pada dirinya? Apakah sahabatnya itu akan menghajarnya habus-habisan?
Semakin dekat langkah kakinya, semakin berdebar pula jantungnya. Bau asap rokok mengampiri indera penciuman Leo. Ia yakin, saat ini sahabatnya sedang merokok.
Tap
Tap
Tap..Tepat pada pijakan kaki terakhir Leo, Rio membalikan tubuhnya. Susah payah Leo menelan salivanya.
Dihadapannya, Rio menaikkan sebelah alisnya, hanya itu. Ekspresi pemuda itu tidak terbaca, sungguh.
"Kenapa muka lo?" Rio mengerutkan keningnya, melihat Leo yang kini sedang menatap kearahnya dengan tatapan takut. Entahlah, Rio hanya merasa kalau Leo menatapnya dengan pandangan takut.
"Ng- emang apanya yang kenapa Yo?" Rio berdecak, mendengar pertanyaannya dibalas pertanyaan.
"Muka lo pucet."
"Ng- itu, lo ngapain nyuruh gue kesini?"
"Duduk." Dengan gerakan kaku, Leo menduduki kursi tak terpakai yang menjadi tempat duduk Rio sebelumnya.
"Ceritain kenapa Alyssa bisa luka karna lo." Itu bukan permintaan, tetapi perintah memang. Karena tidak ada nada permintaan sama sekali.
Leo menghela nafas, menyiapkan kata-kata yang pas untuk ia utarakan pada sahabatnya. Leo sudah menduga sebelumnya kalau Rio akan memintanya mengatakan kesalahan yang ia buat. Terbukti, sekarang ia seperti seorang penjahat yang sedang diinterogasi polisi.
"Gue nggak sengaja nabrak Alyssa waktu dikantin. Dia jatuh, tangannya ke-gores kaca sudut meja-- " Leo menghentikan ceritanya saat melihat kedua tangan Rio terkepal disisi tubuh pemuda itu. Rahang pemuda itu mengeras, membuat Leo ragu untuk melanjutkan ceritanya.
"Lanjutin." Rio membalikkan tubuhnya, tidak ingin melihat Leo. Karena jika ia khilaf, bukan tidak mungkin sahabatnya itu babak belur ditangannya.
"... Terus gue ikut anterin dia ke uks sama temennya yang chubby itu," Leo melihat Rio menganggukan kepalanya. Dalam hati ia terus berdoa agar Rio tidak menghabisinya saat ini.
"Lo bisa pergi--" Rio membalikkan posisi tubuhnya menghadap Leo.
"Hari ini ulangan kimia, dan lo- harus kerjain sendiri." Damn! Leo baru ingat hari ini ada ulangan kimia, dan dia tidak belajar sama sekali tadi malam. Namun, percuma juga jika ia belajar, karena ia tidak akan mengerti sama sekali dengan pelajaran eksak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Teen Fiction'Kamu indah seperti senja.. Hingga aku sadar, Senja tidak datang untuk menetap' 'Ketika kamu memilih pergi tanpa alasan, maka jangan pernah kembali dengan satu pembelaan. Karena di satu sisi aku tidak akan percaya, dan disisi lain semua omongan mu...