Never Change

575 48 11
                                    

Ify berjalan dengan lesu menaiki satu persatu anak tangga yang menuju tempat dimana letak kamarnya berada. Jujur, di rumah semegah ini Ify merasa kesepian. Para asisten rumah tangga sibuk menjalankan tugas mereka, dan Ayahnya tentu saja berada dikantor.

Sudah hampir satu minggu ini Hanafi pulang larut malam, dan dua hari ini, Ify tidak bertemu ayahnya sama sekali, bahkan pria itu tidak lagi pulang hanya untuk sekedar makan siang. Entah apa alasannya, Ify mencoba mengerti dan memahami kalau Ayahnya mungkin sedang sangat sibuk dikantor. Setiap jam makan siang, Ify selalu mengirim pesan mengingatkan Hanafi untuk makan siang, begitu pun malam hari. Setiap jam makan malam, Ify juga menyempatkan diri untuk mengirimkan sebuah pesan yang sama untuk Ayahnya.

Jenuh, sepi dan terasa kosong. Itulah yang Ify rasakan saat ini. Bagaimana tidak, dirinya hanya bertemu Hanafi dimeja makan saja. Bahkan untuk mengantarkan Ify kesekolah pun Hanafi mengalihkan tugasnya pada salah satu supir pribadinya. Ify tidak keberatan, namun ia merasa sedikit kecewa. Bahkan untuk mengantarnya kesekolah pun Ayahnya tidak memiliki waktu.

Definisi rumah yang berarti suatu tempat yang hangat, penuh kebahagiaan dan canda tawa didalamnya tak lagi dirasakan Ify. Hanya ada perasaan kosong, dingin dan tak lagi ada canda tawa.

Ify memejamkan kedua matanya, menghilangkan rasa yang berkecamuk dalam dirinya. Semakin lama, rasa kantuk perlahan mengabil alih kesadarannya. Menyelami dunia mimpi mungkin jauh lebih baik.

~~~~~

Terik mentari sore ini terasa begitu menyengat. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat dua orang pemuda yang sedang memperebutkan bola basket dilapangan out door itu. Meski jam pelajaran sudah berakhir sejak satu jam lalu, namun dua orang ini tidak memiliki niatan untuk menyudahi permainan mereka.

"Udah Yo. Gue capek, " Ucap Leo sambil mengatur nafasnya yang terengah. Yup, dua orang pemuda yang bermain basket tadi adalah Leo dan Rio, sahabatnya.

"Gimana? Nyerah?" Tanya Rio dengan senyum meremehkan.

"Fine! Lo menang." Jawab Leo dengan nada kesal. Pemuda itu masih mencoba mengatur nafasnya ternyata, ckckck.

"Seenggaknya seminggu kedepan uang jajan gue aman dan bonusnya lo jadi babu gue," Ujar Rio lengakap dengan senyum miringnya. Leo hanya bisa pasrah dan menjalankan konsekuensi yang ia buat sendiri.

Saat istirahat kedua tadi, Leo menantang Rio untuk bertanding basket dengannya. Dan yang kalah, akan menuruti perkataan si pemenang termasuk mentraktir si pemenang dalam waktu satu minggu. Tantangan ini bukan hal baru yang Leo ajukan untuk Rio, sebelumnya pemuda itu juga pernah menantang Rio dan berakhir dirinya kalah lalu menerima konsekuensinya. Dan lihatlah sekarang, Leo berhasil dikalahkan (lagi) oleh Rio. Ckckckck..

"Rio!" Seruan dari seseorang itu mengalihkan perhatian Rio dan juga Leo.

Rio menatap si pemilik suara dengan tatapan datar, berbeda dengan Leo yang terlihat susah payah menelan salivanya. Astaga, dia kan--

"Apa mau lo." Tanpa berbasa-basi Rio langsung melontarkan pertanyaan, bahkan sebelum si pemilik suara tadi sampai dihadapannya.

"Lo lupa, kita-- "

"Jangan bahas apapun tentang lo dan gue. Karna itu nggak akan pernah terjadi, dan kalo pun terjadi itu cuma dalam mimpi lo." Setelah berkata seperti itu, Rio lantas berlalu diikuti Leo. Mengabaikan seruan panggilan dari seseorang tadi yang terus meneriakkan namanya.
Untung saja sekolah sudah sepi dan tidak ada siapapun karena hari ini tidak ada kegiatan ekskul yang diadakan. Sehingga Rio tidak perlu khawatir ada orang yang tahu tentang hal yang baru saja terjadi.

~~~~~

Pagi ini masih seperti pagi-pagi seminggu terakhir bagi Ify. Dimana ia melakukan sarapan sendirian tanpa ayahnya, dan percayalah ia belum melihat wajah ayahnya tiga hari ini walaupun mereka berada dalam satu rumah.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang