fifteen ° precious

3.3K 738 295
                                    

Felix terbangun saat suara ketukan pintu terdengar. Dengan malas ia beranjak dan berjalan dengan menyeret kakinya.

Cklek

"Kenapa, Bun?"

"Udah jam dua belas, kamu ngelewatin sarapan. Sekarang makan siang dulu gih."

Felix mengangguk. Menutup pintu kamarnya. Lalu segera menuju ruang makan di lantai bawah.

Satu potongan telur dadar dilahap oleh Felix sebelum ia duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan.

Wanita paruh baya yang duduk di hadapannya mengambilkan nasi untuk Felix, menyertakan beberapa lauk pauk di atasnya.

"Kuliah kamu gimana?"

"Lancar kok, Bun. Cuma lagi sibuk aja sama organisasi."

"Kamu harus rajin minum vitamin. Obatnya masih ada? Besok Bunda ke RS ambil obat lagi kalau habis"

Felix menggeleng. Lalu menelan makanan di mulutnya.

"Gak usah, Bunda. Felix udah sembuh."

Sayuran ditambahkan ke dalam piring milik Felix. Membuat Felix merengut.

"Jangan protes. Kamu sibuk kuliah gitu, makannya yang bener" ucap Nyonya Lee sebelum Felix melayangkan protes.

Keduanya kembali melanjutkan makan dengan tenang. Ibu Felix selesai terlebih dahulu. Beberapa piring dan mangkok kosong segera ia bawa menuju wastafel.

"Felix,"

"Hm?"

"Kamu masih minat sama psikologi?"

Felix meminum beberapa teguk air dari gelasnya.

"Kenapa, Bun?"

"Kamu ambil beasiswa kuliah mau? Kali ini Bunda bebasin, kamu mau ambil psikologi juga gapapa. Bunda gak tega kamu terpaksa jalanin kuliah yang sekarang."

"Trus yang sekarang gimana? Tinggalin aja?"

Wanita berparas cantik tersebut mengangguk singkat.

"Sebentar lagi Bangchan mau ambil S2. Kayaknya Bunda bakal nitipin kamu sama Bangchan,"

"Tapi Bun, Kak Chan itu kan ambil S2 di-"

"Iya Jerman. Bukannya kamu juga pengen kuliah di Jerman, kan?"

"Tapi-"

"Kamu boleh pilih jurusan yang kamu mau disana. Gapapa kan kalau Bunda minta kamu lanjut kuliah di Jerman?"

Gelas di tangan kanannya belum terlepas. Semakin kuat genggaman tangannya pada benda itu.

Felix takut ia tak sanggup. Orang tuanya banyak berharap padanya. Bohong jika Felix berkata ia tidak keberatan. Ia sudah cukup mengorbankan keinginan dan mengikuti keputusan orang tuanya dengan ikhlas.

Singkatnya— kini ia sudah berada di zona nyaman. Teman-temannya, organisasi, jurusan kuliah, dan Changbin. Entah, nama pemuda itu seketika terngiang dalam pikirannya.

"Kamu gak jawab berarti iya. Bangchan udah cari beberapa beasiswa di Jerman. Secepatnya kamu bisa isi form pendaftaran."

Kebebasan yang tadi disebutkan hanyalah omong kosong. Nyatanya hidup Felix hanya tahu tentang mengikat, dan diikat.

.

.

.

Sesuai janjinya kemarin, Changbin tiba di rumah Felix pukul empat. Ia memperhatikan Felix yang terbalut celana jeans baby blue dan sweater coklat muda yang sedikit longgar.

PURZELBAUM [Changlix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang