nineteen ° daredevil

2.9K 672 274
                                    

Felix membuka catatannya kembali. Mencoba mengulang pembelajarannya pagi tadi. Bangchan tengah sibuk dengan tugas-tugasnya yang sudah menumpuk meski perkuliahan baru tahap awal.

Alunan lagu Jagdlied menggema di flat berukuran sedang yang Bangchan sewa untuk keduanya. Volume yang terlalu keras membuat Felix harus menutup telinganya kala salah satu penyanyi dalam lagu paduan suara itu memperdengarkan nada tinggi pada beberapa baris liriknya.

‘Klik’

Seketika lagu tadi terhenti. Berganti dengan intro sebuah lagu yang terdengar lebih kekinian.

“Kamu gak mau benerin handphone yang dulu?” tanya Bangchan sambil mengeluarkan ponsel Felix dari dalam nakas.

“Udah pernah coba. Tapi kalo kayak gitu gak bisa dibenerin, Kak.”

“Gak sayang emang? Handphone dari jaman SMA kan ini?”

Felix bergumam mengiyakan. Seandainya Bangchan tahu kalau dirinya bahkan telah mengeluarkan uang banyak demi membetulkan ponselnya, mungkin Kakak sepupunya tak akan berkata begitu. Nyatanya ponsel itu sudah tak bisa lagi ia pakai sekarang. Amat disayangkan memang. Dan karena itulah Felix tak pernah lagi berkomunikasi dengan orang-orang ‘lama’. Hidupnya kini benar-benar baru.

“Lix,”

Yang dipanggil menoleh. Mendapati Bangchan yang tengah menatapnya lurus.

“Kakak bakal balik ke Indonesia habis wisuda. Kamu lanjut dua taun disini sendirian gapapa?”

Bibirnya ia lipat ke dalam. Felix menahan umpatannya.

“Iya gapapa, Kak. Itung-itung belajar mandiri. Gitu kan, Kak?” tutur Felix dengan penekanan di ujung kalimatnya.

Bangchan mengangguk sambil tersenyum. Matanya tinggal segaris. Sedetik kemudian ia berbalik, menghilangkan senyumnya. Pandangannya kembali pada kertas-kertas tugasnya. Hanya berpura-pura seakan ia kembali mengerjakan semua itu. Tapi Felix tahu Bangchan sedang menutupi sesuatu. Mungkin sesuatu yang biasa mereka sebut dengan ‘bukan urusan anak kecil’.

 

•••


 

Cahaya dari layar proyektor memancar lurus, menampilkan sebuah film action yang entah sejak kapan sudah tak dihiraukan oleh dua pemuda disana. Jisung memundurkan tubuhnya. Menyandarkan punggungnya pada dada kakak tirinya. Minho memeluk Jisung dari belakang. Menyesap harum wangi sabun yang menguar dari tubuh yang lebih muda.

“Kamu gak main keluar sama temen, Dek?”

Kepala Jisung ditolehkan ke belakang. Alisnya terangkat satu menanggapi pertanyaan Minho.

“Ya main sama siapa? Jisung gak ada temen.”

Surai kecoklatan Jisung diusap lembut.

“Kan ada Felix.”

Jisung menegakkan tubuhnya. Berbalik menghadap pada pemuda yang lebih tua.

“Jadi Kakak gak sadar selama kumpul BEM Felix gak ada disana?” Minho menggeleng. Bertambah bingung saat Jisung memasang wajah cemberut.

“Kakak gak tau kabar tentang Felix yang udah pindah kampus? Dia kuliah di Jerman sekarang, Kak.”

“Loh? Bukannya cuma Bangchan? Jangan ngarang kamu, Dek.”

Jisung memukul pelan paha kakak tirinya.

“Diomongin gak percaya ya udah.”

Kekehan pelan dari Minho nyaris tak terdengar. Tangannya menarik Jisung agar kembali mendekat.

PURZELBAUM [Changlix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang