!

1.5K 212 1
                                    

Tiba pada waktu. Waktu yang dahulu aku takut.

Benar. Aku takut kehilanganmu. Aku takut tidak mampu.Aku takut menangis setiap harinya, aku takut menangisi sesuatu yang tak sepatutnya kutangisi: rindu mendosa.

Kau tahu, kita sudah berada di titik yang jauh. Jika mimpi kita adalah langit, kita berada di bawah batasnya.
Tinggal melampauinya.

Kau ingat 'jeda'?
Kita bahkan telah melewati itu.

Bersabarlah.
Kita saling mencintai karena Dia, bukan?

Kita mendaki puncak yang sama.
Hanya dari lereng yang berbeda,
agar kita tak saling intip;
sudah sejauh apa?

Aku belajar darimu, tentu dengan izin-Nya. Maaf, jika hati ini terlampau rapuh. Kau tahu Tuan, tak jarang air mataku tumpah.

Namun, sekarang Aku tak lagi takut.
Lamat-lamat, waktu menyadarkan
Bahwa ternyata, sejak kita belum saling mengenal, sejak kita belum paham dunia, atau bahkan sejak ruh kita berdua masih dalam lauhul mahfudz, Dia sudah menggandeng tangan kita.

Tanganku.
Tanganmu.

Hingga kita berjalan sejauh ini, bersama-sama.
Hingga kita sebaik ini,
bersama-sama.
Hingga hati kita sedekat ini,
bersama-sama.
Hingga kita sesempurna ini pun, bersama-sama.

Lagi-lagi Dia membuat air mataku tumpah. Bukan lagi takut. Tapi takjub.

Mari saling bersisian, tanpa harus bersentuhan. Mari jadi sempurna
Demi akhir yang paripurna.

Kutulis segalanya sederhana.
Seperti kita:

Apa adanya, namun penuh asa.

Bersabarlah, kita tengah digenggam-Nya erat-erat.

Maka dari itu, Dengan nama-Nya yang aku cinta,
Aku mencintaimu, dunia-akhirat.

-

p u a n
(hari ketika aku kebanyakan
nyemil-,-)


Dari PuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang