Labirin Minos yang Bernama Hati

11 0 0
                                    

Seperti biasa, Sissy melewati pagi harinya dengan cara biasa.

Sarapan seperti biasa, haha-hihi dengan dua temannya seperti biasa.

Pergi kuliah seperti biasa.

Mendengarkan penjelasan dosen seperti biasa.

Dan bertemu dengan Ardan dan Rion, seperti biasanya.

"Gue pengin makan mie di kantin habis kelas terakhir. Lo berdua ikut, ya," sahut Rion tiba-tiba sebelum Ardan dan Sissy masuk kelas.

"Boleh juga. Udah lama aku nggak makan mie. Asupan micinku masih kurang," celetuk Ardan.

"Emang boleh nimbun micin sama Coach Andrei? Aku yakin pasti nggak boleh," kata Sissy cuek. Gadis itu sedang asyik dengan chocolate bar-nya.

"Emang nggak boleh. Tapi Coach kadang memberiku mie cup waktu kami selesai latihan."

"Sepuluh menit lagi, guys. Gue duluan, ya." Punggung Rion pun mulai menjauh dari Ardan dan Sissy.

"Kita juga harus masuk. Yuk." Tanpa meminta, Ardan menarik tangan kiri Sissy yang bebas dan menyeret langkah gadis itu masuk ke kelas. Genggaman itu membuat gadis itu tersentak tanpa sengaja.

Dan juga ... membuat jantung gadis itu bertalu kencang.

***

"Akhirnya, gue kenyang juga."

Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut Rion setelah menghabiskan tiga mangkuk mie kari. Sissy yang melihat kelakuan teman SMA-nya ini hanya bisa menggeleng kepala. Dia melengos cuek dengan keadaan cowok bule satu itu.

"Nanti kalau belanja, beli aja mie sekardus. Biar puas makannya." Begitu celetuk gadis itu kemudian.

"Cassie, Cassie ... Bisa gak sih kurang-kurangin kadar pedes mulut lo? Nyeletuk mulu dari tadi," sungut Rion kesal.

"Biarin. Suka-suka aku juga."

Tawa Ardan terdengar. Lepas dan ringan. "Sissy emang begitu. Makin tua, makin pedes mulutnya."

"Ini lagi ikut-ikutan. Bete, ah."

"Yah, ngambek."

"Gue beliin es krim coklat gimana? Mau gak?" bujuk Rion, yang lalu dijawab dengan suara riang Sissy dan juluran lidah Sissy yang ditujukan untuk Ardan. Gemas, Ardan langsung mengacak rambut Sissy.

"Berantakan, tahu."

"Biar jadi gaya rambut baru."

"Ardan rese."

"Sissy cerewet."

Rion hanya mampu memperhatikan dua orang yang saling beradu ejekan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, Rion merasa iri dengan kedekatan Sissy dengan cowok itu. Di sisi lain, ada rasa cemburu yang membakar. Di sisi lain lagi, ada yang berbisik untuk menahan egonya. Di sisi lainnya, dia ingin berada di posisi Ardan, orang yang sudah mengenal Sissy sejak kecil.

'Gue kenapa, sih?' jerit Rion dalam hati.

"Yon. Woi. Rion. Kamu kenapa? Kok bengong?" tegur Sissy. Namun, yang ditegur masih bergeming.

"Ya udah, kita tinggal aja. Aku mau cepet pulang, mau siap-siap ke Balikpapan. Eh, Si, kamu ikut, ya," ajak Ardan.

"Hah? Ke Balikpapan? Ngapain? Kalo nemenin kamu latihan mending aku nggak usah ikut, deh."

"Yaah. Padahal aku mau ngajak kamu nonton, lho."

"Ada bioskop di sini. Jadi aku tetep nggak mau ikut."

Pangeran Es dan Putri CassiopeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang