Waktu yang Hilang

10 0 0
                                    

Sissy tetap terjaga hingga pagi. Meskipun begitu, ia tetap memaksa diri untuk turun ke kampus dengan mata pandanya. Walhasil, gadis itu setengah tertidur di akhir mata kuliah pertama dan tertidur pulas di ujung mata kuliah kedua. Meski begitu, gadis itu secara ajaib terhindar dari lemparan tutup spidol atau penghapus papan tulis dari dosen. Entah bagaimana caranya.

Saat kelas berakhir, Sissy masih lelap. Kelas sudah mulai kosong, namun gadis berambut bob itu masih duduk tenang di sana. Sissy tidak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk di hadapannya. Orang itu juga rela melepas jaket dan menyelimuti gadis itu. Sebuah senyum juga tersungging di bibir orang itu.

Sepuluh menit berselang, Sissy akhirnya terbangun.

"Tukang tidur. Mau sampai kapan tidur begitu?" Sebuah suara menyapa Sissy yang baru saja terbangun. Gadis ceriwis itu belum menyadari siapa pemilik suara itu. Namun dari warna suara dan intonasinya, Sissy menyadari siapa itu.

"Sampai sang pangeran datang dan mencium sang putri, yang membuat kutukan tidur itu terlepas. Dan mereka hidup bahagia selamanya."

"Yaelah. Kamu itu bukan putri Aurora. Jangan ngimpi deh." Orang itu mengacak rambut Sissy sambil tertawa pelan, membuat Sissy misuh-misuh kemudian.

"Laper, 'kan? Yuk ke Pramuka, kita makan mie ayam favoritmu di sana."

Orang itu, Ardan, langsung memakaikan jaketnya ke Sissy dan menarik tangannya untuk pergi dari ruang kelas yang kosong. Lagi-lagi Sissy berusaha keras untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya dan dentuman keras jantungnya dari pria itu. Sissy terkadang tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Meskipun sudah bertahun-tahun ia bersama dengan pemuda itu, tetap saja gadis itu merasa ada yang berbeda dengan Ardan yang sekarang. Rasa menyenangkan itu tetap ada, namun ...

"Bengong terus. Telur rebusmu kuambil, ya."

Tangan Ardan yang terjulur di hadapannya membuat Sissy langsung tersadar dari lamunannya. Sadar dengan apa yang diincar Ardan, gadis itu langsung menepis tangan pemuda itu dan segera menggigit telur rebus di mangkuknya.

Ardan tertawa. Lepas, tanpa beban. Sissy tetap memasang wajah ngambeknya.

"Si, what did we miss during that five years?" tanya Ardan tiba-tiba.

Sumpit Sissy berhenti. Gadis itu langsung menatap Ardan dan memasang wajah serius, membuat pemuda di seberangnya itu sedikit terkejut dan heran.

"A lot, Dan. Banget."

"Then please tell me more."

Gadis itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya.

Ia mulai bercerita.

"Waktu SMA, aku pernah sebangku sama Rion. Dia murid pindahan. Aku hanya berteman baik dengannya, tetapi orang-orang di sekitarku menyangka lebih dari itu."

"Mereka yang awalnya dekat denganku, perlahan mereka menghujatku. Bahkan mereka memperlakukanku dengan sangat tidak adil. Mereka merundungku. Bayangkan saja, mereka langsung tertawa setelah mereka mengurungku di kamar mandi dan menyiramku dengan air parit yang bau."

Mata Sissy terasa panas. Di hadapan Ardan, mau tidak mau ia harus membuka masa lalunya yang kelam.

Masa yang ingin ia lupakan.

"Astaga."

"Dan semua karena mereka menganggapku mencuri perhatian Rion, padahal bukan seperti itu. Rion-lah yang mendekat kepadaku."

"Aku tidak bisa menyalahkan Rion atas kejadian itu. Aku juga tidak bisa menaruh dendam. Tapi... yah, begitulah. Mungkin aku yang terlalu cuek atau terlalu baik."

Pangeran Es dan Putri CassiopeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang