Sudah tiga hari Atha pergi, tak kembali lagi. Tidak seperti biasa yang selalu muncul lagi, sekeras apapun Dea menyingkirkannya. Namun sekarang, saat Dea ingin Atha tinggal lebih lama, pria itu malah pergi tanpa pamit sedikit pun. Ah, bayangan Atha masih saja melayang-layang di pikiran Dea. Ia enggan menganggap Atha hanyalah sebatas mimpi.
Selepas mengurusi ruko yang baru saja di beli untuk kafe tadi siang, Dea memutuskan pulang saja. Aktifitas hari ini cukup melelahkannya. Namun, berdiam di apartement pun tak sebagus yang ia kira. Malah ia makin teringat oleh Atha. Atha pernah ada mengisi tiap penjuru ruangan ini.
Dea berjalan lesu ke arah dapur. Membuka lemari makanan. Kosong. Tak seperti biasanya, lemari itu sering diisi masakan-masakan Atha yang menyehatkan. Dea tersenyum miris. Akhirnya memutuskan untuk menyeduh kopi untuk menemani sorenya.
Ia memutuskan untuk duduk di meja makan. Menatap segelas air kopi yang masih mengepul. Creamer yang ada di atasnya membentuk lingkaran. Semakin dalam ia menatap, rasa-rasanya ada Atha yang juga sedang menatap dengan mata tajamnya. Dea terhenyak. Ia mengerjap pelan. Ia berdiri, meraih gelas kopinya dan menyimpan di atas wastafel, detik kemudian, minumam hitam pekat itu mengalir memasuki saluran air hingga gelasnya kosong. Habis sebelum diminum Dea. Setelah itu ia mengeluarkan bungkusan rokok yang masih ia simpan lalu melemparnya ke dalam tempat sampah.
Senyumnya terukir. Menepuk kedua telapak tangannya, ia segera mengambil sapu lalu menyiapkan ember dan pel lantai. Seprai ia ganti dan memasukkannya, tak lupa dengan pakaian kotor yang menumpuk, ia gotong sendiri untuk dicuci. Mulai hari ini, ia akan menjadi Dea yang baru. Dengan pola hidup sehat, dan juga pola pikir yang dewasa.
Ia harus.
***
Dua bulan kemudian Kafe Dereancoffee resmi di buka. Pertama pembukaan sangat ramai. Saking ramainya, terkadang Dea kewalahan. Tapi semua ini cukup puas karena melihat bagaimana bahagianya Reni dan Juan dalam melayani. Juan bagian meracik kopi, Reni mengantar pesanan, dan Dea bagian kasir. Benar kata Juan, keluar zona nyaman bisa saja mengasyikkan. Dan itu terbukti sekarang. Saat Dea nyemplung langsung dalam dunia seorang pengusaha. Ia akan membuktikan, bahwa lulusan SMA pun bisa sebanding dengan lulusan Bisnis sekelas Reni dan Juan.
Dereancoffee sebenarnya bukan nama awal untuk kafe mereka. Namun, setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya nama mereka disatukan sehingga membuat satu suku nama. DeandraReniJuan cofee. Terdengar aneh, tapi keanehan itu justru pusat kepuasan mereka terhadap bisnis tersebut.
"Hah. Gimana, De? Seru nggak?" tanya Juan selepas kafe mulai sepi karena akan tutup.
"Seru banget. Yaaaa, meski ada capeknya. Banget malah."
"Namanya juga jualan. Kalau kita jalanin dengan asyik, ya perasaan juga jadi enjoy." Juan menjawab.
"Nanti kita tambah pegawai kali, ya? Buat bagian manu lain. Kita, kan, nggak mungkin cuma kopi doang. Sama pelayan satu lagi. Biar gue lebih fokus bagian keuangan. Ntar, Dea, lo setor bagian keuangan di kasir gimana, biar gue data."
"Ashiaaaap, kakak Reniku!"
"Cih, alay lo."
"Eh, girls. Gue punya ide deh kayanya," usul Juan. Dea dan Reni sama-sama menoleh. "Kayaknya kita harus punya inovasi baru buat kafe baru kita ini."
"Inovasi apaan?"
"Ya, misalnya hiasan apa gitu buat mempercantik kafe kita. Biar nggak polos-polos banget. Sebagian kan udah di dekor, nih. Nah, harus tambah apa ya kira-kira biar terlihat menarik?"
"Aha!" Dea menyaut.
"Apa?" Reni dan Juan bersamaan.
"Foto kita aja bertiga dari masih kecil sampai sekarang!" Dea menjawab dengan mata berbinar.
Reni segera menimpuk Dea dengan buku di tangannya. "Lo kira ini pameran galeri pribadi apa?"
"Yeeee, kan, ide."
"Masalah itu kita pikirin nanti aja. Sekarang kita beres-beres aja buat pulang." Juan menjawab yang langsung disetujui oleh kedua gadis di depannya.
***
Malam begitu dingin. Belum sampai isya, petir sudah terdengar menandakan akan hujan besar. Dea menutup jendela dan pintu balkonnya, menghalangi udara malam masuk dari arah mana pun.
Sambil melihat drakor China kesukaannya lewat laptop, tak lupa camilan ia taruh. Kopi ia kurangi, rokok ia hilangkan, makanan sembarang ia jauhi. Namun, untuk kebiasaan menumpuk camilan di dalam perut, tidak bisa ia hilangkan. Persetan dengan berat badan, itu biar jadi urusan lain. Jika bisa, ia ingin menggemukkan badan suapa saat bertemu Atha di masa depan nanti, ia bisa lihat apakah pria itu menerima apa adanya atau tidak. Ya, katakan saja Dea memang sinting.
Puas menonton lima episode malam itu. Ia beralih pada buku untuk mencatat laporan pendapatan yang Reni pinta tadi siang. Tugasnya hanya menulis nominal, tugas management keuangan, biar perempuan bernama Reni saja yang bekerja. Setelah selesai, ia beralih pada halaman tengah yang kosong. Entah kenapa, bayangan senyum Atha tiba-tiba saja muncul.
Dea tersenyum sinis, mengusir bayangan Atha. Sayangnya, semakin menghilangkan, wajah pria itu malah menempel dalam ingatan. Dea mencebikkan bibirnya kesal. Ia memutuskan meraih pinsil, lalu perlahan, menggoreskan tiap garis hingga membentuk suatu wajah. Dan mungkin sekarang, hanya Dea yang tahu siapa pemilik wajah tersebut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Husband [END]
RomanceLangkahnya mundur saat menangkap seseorang sedang tertidur lelap di atas ranjangnya. Seorang pria. "HAAA! BANGUN! SIAPA LO? KENAPA ADA DI KAMAR GUE?!" teriak Dea histeris. Ia melempar bantal dengan keras ke arah pria tersebut. Pria itu bangun sera...