8/10

241 14 0
                                    

Suara jarum jam berdetak dengan jelas di ruangan yang kini sudah hening. Hanya ada dua makhluk hidup yang sama-sama berbaring menyambut dimensi alam bawah sadar.

Dea membuka mata. Terbangunkan tepat pukul satu malam. Lebih tepatnya, ia tak bisa memaksakan untuk benar-benar terlelap. Menoleh, sudah didapati Atha yang tertidur dengan hembusan napas teratur menghadapnya. Dea memandangi Atha. Bagaimana ia tertidur dengan nyaman. Tangannya menjulur menyentuh pipi pria tersebut yang masih meninggalkan rasa hangat, setidaknya demam sudah mereda.

Dea mengamati Atha. Mata tajam itu terasa teduh saat terpejam. Halis tegasnya menukik tajam. Atha memang tidak tampan seperti tokoh-tokoh wattpad, tidak pula jelek seperti manusia tidak mandi selama berbulan-bulan. Namun, saat menatapnya terus menerus bukan hal yang membosankan.

Tak lama setelah mengatakan apa yang terjadi atas dirinya, Atha tergolek lemas dan memutuskan untuk terlelap karena suhu panas yang meningkat. Sedangkan Dea lama terpekur di samping Atha. Pikiran bercabang, membikin kepalanya ingin meledak saja. Banyak hal tak masuk akal yang ia terima.

Namun, Dea segera menyingkirkan lebih dulu logikanya. Lalu mengedepankan perasaannya. Melihat Atha hari ini membuat keyakinan atas pria itu meningkat. Mungkin karena apa yang telah ia lakukan selama ini.

Dea tersenyum tipis, menggenggam telapak tangan Atha di balik selimut, sebelum akhirnya menyusul Atha ke alam yang mungkin saja bisa mempertemukan mereka berdua.

***

Silau mentari pagi menembus gorden biru langit yang masih terurai menutupi jendela. Dea mengerjap menghalangi matanya dengan selimut. Namun, sedetik kemudian ia tersadar akan sesuatu.

Bangkit dari posisi tiduran, ia duduk dengan menoleh ke samping. Hanya seonggok guling dan ranjang yang kosong, tak terisi seperti semalam. Atha tak ada di tempat tidur.

Dea berdiri sembari celingukan mencari Atha. Ia pergi ke kamar mandi, dapur, ruang tamu, hingga balkon. Nihil. Hanya hampa yangia temui. Dea bergegas membuka lemari. Kosong. Tak ada sehelai kain pakaian milik Atha di sana. Dea menggaruk rambutnya heran. Apakah Atha kabur dari apartementnya?

Mengembuskan napas, Dea berjalan lesu ke atas ranjang. Mengapa ia bisa tak menyadari Atha pergi? Dan mengapa Atha tak pamit terlebih dahulu padanya? Apa Atha marah? Argh, pagi-pagi otaknya terus berputar tak menentu hanya karena seorang pria bernama Atha.

Drrrt!

Dea meraih handphone, membuka satu pesan yang dikirim Reni.

Reni : [Ketemuan kuy di kopilaina]

Mendecak, Dea segera membalas.

Deandra : [Malash. Ntar lo jebak gue lagi!]

Reni : [Apaan, sih, Nyet! GJ. Buruan. Gue OTW nih!]

[Gue mau bilang sesuatu]

[Cepet, Dea. Lo mau kaga gue ajak kaya raya]

[DEA JANGAN READ DOANG EMANG GUE KORAN!]

Deandra : [Y]

***

"Mau ngomong apaan? Gue buru-buru nih. Masuk jam 9," ujar Dea baru saja duduk di depan Reni.

Reni mengeryit menatap Dea. "Masuk apaan?"

"Ya, kerja, lah! Emang lo kira apaan gue selama ini, hah?"

"Kerja? Lo emang udah kerja?"

Dea melotot. "Lo udah nggak waras, ya, Ren, nanya gitu?"

"Apaan, sih! Lo, tuh. Sok sibuk amat bilang kerja. Orang lo belum dapat kerja juga."

My Future Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang