0. Prolog

3K 217 71
                                    

"Jadi aku mati, ya?"

"Ya, begitulah."

Di depanku terlihat seorang pria tua yang memiliki rambut putih beruban nan panjang yang menyebut dirinya sendiri seorang dewa. Meskipun begitu, sebenarnya raut keriput di jawahnya tak terlalu terlihat dari jarak tempatku duduk.

Oh ngomong-ngomong soal duduk, saat ini aku sedang berada di sebuah ruangan yang entah apakah aku bisa menyebutnya ruangan. Tidak ada yang terlihat seperti dinding atau apapun itu yang dapat kukatakan ruangan, namun terdapat lantai kaca yang membuatmu bisa melihat ke bawah dengan hebatnya. Langit-langitnya pun mungkin tidak ada karena apa yang kulihat hanyalah lembaran kertas biru yang diserbuki awan-awan putih kecil seperti bulu domba.

Tapi yah, aku tak begitu peduli dengan ruangan ini sebenarnya sih.

"Lalu apa yang terjadi kepadaku? Surga? Neraka? Atau kembali ke dunia asalku sebagai sosok hantu atau arwah penasaran?"

"Kenapa kau bisa berpikir kembali hidup tetapi sebagai hantu atau arwah penasaran?"

"Entah ya, itu hanya terlintas di pikiranku sekilas."

Aku tidak peduli mau dikirim kemana saja sih. Lagipula aku ini orang yang menyedihkan ketika masih hidup. Aku selalu menjadi beban orangtuaku, saudaraku, orang-orang di kelasku, atau bahkan warga juga resah dengan keberadaanku. Kebanyakan orang menatapku dengan perasaan tidak enak dan akhirnya menjauhiku.

Entah apa yang kulakukan, tapi rasanya aku tak pernah berbuat salah pada mereka. Mungkin karena aura dan tampangku agak menyeramkan, ya? Yah, harus kuakui tampangku ini terlihat mirip preman dan menyeramkan. Aku terlahir seperti ini, jadi apa boleh buat. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya.

"Sebenarnya aku mempunyai pilihan keempat yang bisa membuatmu hidup kembali di dunia fantasi. Kau tahu, kan?"

Ah, dunia fantasi yang berlatar abad pertengahan, terdapat monster-monster, sistem monarki eropa, era medival, sihir, dan sebagainya itu? Tentu saja aku tahu, itu khayalanku sewaktu kecil ketika mulai menonton anime bertema aksi fantasi dan lainnya.

"Aku tahu, tapi apa boleh? Bukannya aku berbuat curang terhadap orang-orang yang mati lainnya?"

"Hei, sadarilah aksi heroik yang kau lakukan sesaat sebelum kau mati. Apa kau lupa?"

Aksi heroik yang kulakukan? Oh ya, mengapa aku bisa melupakannya? Bukannya aku menganggap kalau aksi yang kulakukan sebelum diriku mati merupakan salah satu aksi heroik, tapi kau bisa menganggapnya seperti itu. Bahkan seorang dewa pun menyebutnya aksi heroik.

Kalau aku tak salah ingat sebelum ini aku berada di sebuah mall hendak membeli beberapa novel ringan. Aku bukan maniak yang bisa dikatakan otaku, aku hanya sekedar menggemari cerita yang disajikan oleh novel-novel ringan di sana.

Saat aku ke kasir dan hendak membayar novel ringan yang ingin kubeli, tiba-tiba ada seorang perampok datang menuju kasir menyuruh sang operator kasir menyerahkan semua uang di sana sambil menodongkan sebuah pistol. Tentu saja keadaan menjadi sangat panik dan semua pelanggan di sana berhamburan keluar—kecuali aku yang hendak membayar novel ringan yang ingin kubeli.

Sejujurnya, aku sangat terganggu dengan perampok itu. Bukan karena tindakan merampoknya, tapi menyerobot antrianku yang seharusnya lebih dulu dilayani oleh sang kasir. Tentu saja itu membuat kesal dan memukulnya secara spontan.

Dan yah, kalian sudah bisa menebak kelanjutannya. Memang bukan aksi heroik, namun entah mengapa dewa ini menganggapnya seperti itu.

"Setelah perampok itu menembakmu di kepala ia lari terkacir-kacir ketakutan karena sudah membunuh orang. Aksimu itu cukup heroik sehingga dapat menghindari korban lain."

Isekai no Cheat RouletteWhere stories live. Discover now