Wednesday
Seokjin termangu, ia sedang berkontemplasi tentang keputusannya.
Seokjin tidak bilang apa-apa pada Sara, ia terlalu malu untuk bertemu wanita yang menyelamatkan hatinya saat hidup dan mati. Padahal hati wanita tersebut sudah diretakkan puluhan kali oleh Seokjin. Jadi—dengan konyol dan—tidak bertanggung-jawab, lelaki tersebut langsung kabur dari kamar serta kehidupan orang-orang yang ia ganggu. Seperti pengecut, seperti dirinya yang dahulu—karena kalau kata Jinjoo, kelakuan orang mati dan hidup tidak ada bedanya, cuma alam dan cara mereka "hidup" saja yang divergen.
Well, bagaimanapun juga hidupnya sudah bukan di sini, di tempat lain, dan cepat atau lambat waktunya akan benar-benar habis.
Namun itu rasanya lama. Seokjin berdecak kesal. Ia bahkan sudah berjalan ke kuburannya sendiri—tidak tahu juga kenapa tak dibakar saja ia dan taruh di guci, mungkin itu alasannya ia masih gentayangan juga. Telah mencabuti kelopak bunga yang tumbuh di sekitar sini seharian. Dan ia masih utuh. Dari ujung kaki sampai rambut, belum berevaporasi secuil pun. Dasar shaman pendusta, ia bilang kalau aku sudah merelakan seperti di film-film aku akan cepat berpindah.
"Mungkin karena kau belum benar-benar merelakan dan direlakan?"
Seokjin berhenti mencabuti kelopak bunganya, membiarkan tangannya terkulai di tas paha seraya menghembuskan napas kecil. Bagaimana caranya merelakan seseorang yang telah ia berikan puluhan luka, yang akan menjadi ibu dari anaknya, yang punya titel wanita tersayangnya? Bicara, Seokjin, bicara. Seharian ini ia telah memikirkan keputusan itu beberapa kali, ia juga sudah bertekad untuk melakukannya, cuma—lagi—Seokjin masih belum mengumpulkan keberanian serta menata muka untuk bertemu Sara.
"Jadi kau sudah merelakanku?"
Kontan Seokjin terjatuh dari nisan tempat duduknya tadi, tapi tidak ada bunyi berdentum, cuma batang bunga yang jatuh—karena Seokjin masih belum seutuhnya terbiasa jadi hantu. Kemudian ia memicingkan mata ke arah Sara yang membawa bunga ke kuburannya.
"Sara? Kau sedang apa—"
"Ah, sialan, kau sudah meninggalkanku satu kali tanpa bilang apa-apa sekarang kau melakukannya lagi untuk yang kedua kalinya? Bajingan tidak bertanggung jawab."
Sara melempar buketnya menembus Seokjin.
Seokjin terperangah; seolah misil bertama kenyataan baru mendarat di otaknya dan meledak. Ia tak lagi terlihat. Bahwa shaman tersebut tak sepenuhnya bohong.
Sementara Sara menghela napas menyesal, kemudian ikut bergerak melewati Seokjin untuk mengambil buketnya yang sekarang kotor. Ia membersihkan tanah di atas bunga-bunga putih dan ungu, kemudian menaruh tangkainya di atas tanah gembur.
Bibir Seokjin melengkung kecil, tetapi tak ayal air mulai menggenangi sisi matanya.
"Aku ...," mulai Sara kembali dengan suara yang agak tercekat, "cuma ingin punya kesempatan untuk mengucapkan kata perpisahan langsung, Seokjin. Namun mengapa kau merenggut kembali kesempatan kita?"
Seokjin menjerit setengah frustrasi. "Aku sangat mencintainya, Sara, aku sangat mencintainya dan mencintaimu. Aku mencintaimu sangat dan teramat sangat, pun karena itu pula aku tidak bisa bertahan lama di sini."
Namun tak ada barang satu silabel pun yang di dengar Sara, malahan ada getar dari suara si wanita yang hampir pecah dan hilang di sapu angin. Seokjin menatap langit hampir gila, kenapa untuk hal sesederhana bicara saja ia dipersulit?
Yeah, Seokjin konyol kalau berpikir semesta berbaik hati setelah melihat gempa yang meruntuhkan pemukiman, atau bagaimana seorang pengantin baru kehilangan pasangannya dalam waktu belasan menit. Lelaki itu tidak ubahnya makhluk lain di netra semesta; cuma seonggok jiwa yang pantas menerima sakit hati. Tiga hari Seokjin berpikir untuk meninggalkan Sara tanpa kata-kata. Kemudian tatkala ia telah menata kembali isi otaknya, semesta memutus tali tak kasat mata antara dirinya dan dunia?
Kini ia hanya bisa melihat Sara menerjang tubuhnya tanpa tergganggu atau menoleh barang sedetik pun; sementara hati Seokjin terhempas bersama langkah mantannya yang makin menjauh.
🌕🌗🌑

KAMU SEDANG MEMBACA
Blurred Line
Fanfiction[Completed] Ada dua hal menarik semenjak perpisahan mereka. Pertama, setelah tak sadarkan diri selama satu malam, Seokjin bangun dengan indra yang sangat baik dan bertambah; sedikit makhluk halus menemani rutinitasnya. Kedua, mereka benar-benar berp...