4. Shaman

1.1K 248 17
                                    

Tungkai Seokjin berdiam di depan kantornya. Orang-orang sudah mulai berjalan keluar pada pukul lima sore. Sebagian kembali bersama teman, sebagian buru-buru untuk bertemu anak, yang lain mungkin pulang pada kesendirian, dan Seokjin menjadi satu yang ... kehilangan arah.

Ia masih tidak bisa mencerna seluruh kehidupannya sekarang. Ditinggal mati, kemudian wanita tersebut datang kembali. Dalam bentuk jiwa tanpa raga. Bagaimana kalau ia bercerita pada temannya? Mungkin Seokjin akan dipikir tidak waras dan dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Well, sebab temannya tidak banyak tanya pada Seokjin, tetap melanjutkan kehidupan sebagaimana seharusnya, Seokjin juga tidak punya alasan untuk bercerita—malah kubikelnya sempat diusili anak magang.

"Seokjin?" Sebuah sapa tiba-tiba hadir, diiringi dengan jemari yang menyentuh tangannya lembut. "Apa yang terjadi?"

"Tidak ada apa-apa."

"Kau yakin? Melihatmu berdiri di depan sini dengan paras bimbang mengartikan sebaliknya padahal. Ada yang ingin dibicarakan?"

"Ada," balas Seokjin cepat. "Namun tidak sekarang. Tadinya aku ingin mengajakmu pergi melihat festival di taman, cuma rasanya sekarang aku agak kurang sehat. Jadi bagaimana kalau kita bertemu lagi esok untuk mengobrol?"

"Sure. Aku punya sepanjang waktu untukmu."

Sara tertawa, sementara Seokjin hanya bisa meringis.

"Kalau begitu," mulai Sara lamban, "aku bisa berkeliling sesukaku sekarang 'kan?"

Sebuah senyum mengembang di wajah Seokjin. "Tentu."

Bersama paras riang dan lambaian tangan, Sara berjalan menjauh dari titik tersebut—meninggalkan Seokjin yang terpaku bersama tangan yang terlipat di dalam saku blazer biru. Netranya masih mengunci fokus pada langkah-langkah kaki Sara yang melonjak senang. Pun begitu, hatinya tak merasa hangat seperti dahulu, alih-alih hanya ada muram yang bercokol di dadanya.

Kepalanya tertunduk dan ia menghela napas berat. Biarlah.

Baru saja Seokjin ingin berbalik dan melanjutkan langkahnya, satu tiupan angin dingin yang menyapu rambut hitamnya membuat kedua tungkainya membatu. Ada sebuah debar abnormal yang tiba-tiba hadir dalam dadanya. Lantas tanpa berpikir dua kali, lelaki tersebut langsung berlari—tidak peduli dengan belasan pasang mata yang terkejut karena diterjang begitu saja. Ada sesuatu yang salah, semesta tengah memberitahunya. Dan ia tidak mau bahwa kesalahan tersebut adalah soal Sara.

Tapak kakinya kian mengikis jarak, melewati etalase toko dan menghantam konblok di bawah solnya, jasnya berayun ditiup bayu. Kemudian kala irisnya menangkap presensi Sara kembali, ia abai pada napasnya yang hampir habis lantaran jalan yang diambil Sara terlalu sepi—dan seorang wanita asing tengah menatapnya nyalang.

Wanita di umur tiga puluh tahunan dengan mata tajam dan dandanan yang ekstra. Sebuah syal bercorak putih, merah, dan ungu melapisi kepalanya, sementara sebagian rambutnya masih menjuntai; lima kalung berbagai macam bentuk tergantung di lehernya; dan tubuhnya dilapisi oleh baju seperti dress yang agak kebesaran, dengan pola yang sedikit unik bagi Seokjin. Dalam keadaan biasa mungkin Seokjin akan berpikir pemain sirkus mana yang tiba-tiba berlarian ke jalan tanpa ganti baju, tetapi kini semua sejelas kristal; shaman.

Kontan saja Seokjin langsung mendekati mereka berdua demi menarik Sara menjauh. Namun si wanita asing juga menggenggam pergelangan tangan Sara kuat, kemudian dua pasang iris cokelat tersebut bersirobok.

"Kau harus pergi sebelum ikatanmu terlalu kuat."

Sekonyong-konyong Seokjin langsung menuntun mereka menjauh, sementara mata sang Shaman tak berhenti mengamati keduanya.

🌕🌗🌑

Shaman: a person regarded as having access to, and influence in, the world of good and evil spirits.

Blurred LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang