8. One Last Hope

908 202 33
                                    

Seperti beberapa hari yang sudah-sudah, kalau Seokjin akhirnya lelah dijemput ke dunia yang seharusnya di kuburan, lelaki tersebut akan bertandang ke tempat Jinjoo. Ia tidak tahu lagi rumah mana yang membuatnya tidak kesepian atau ia hindari, setidaknya di sini Jinjoo dapat melihat dan bicara dengannya.

Wanita tersebut masih menggunakan pakaian ala-ala yang menyakiti mata Seokjin--kendati ia sudah mulai terbiasanya. Kemudian Seokjin melengos begitu saja, duduk di atas meja yang punya bola kristal, dan mengayunkan kaki. Jinjoo sempat melihatnya sekilas, tapi tidak bicara, cuma sekadar sapa sebelum kembali ke urusannya untuk merapikan barang-barang bekas ritual--entah, kalau menurut pengamatan Seokjin habis ada pernikahan mereka yang telah mati di sini.

"Hari ini Sara datang ke tempatku, ke sini."

"Sara?" Seokjin mengerutkan dahi, cukup terkejut menemukan mantannya datang ke tempat aneh ini. "Ia bilang apa?"

"Ia bertanya ke mana Seokjin."

Sejumput hening mencuri atmosfer, sementara untuk yang entah ke berapa kalinya, Seokjin dapat merasakan ulu hatinya seperti ditelan oleh monster laut bernama rasa bersalah.

"Kau harus tahu, ia marah. Padaku, padamu, pada dirinya sendiri. Ia bilang bahwa aku merenggut kesempatan kalian untuk saling mengucapkan selamat tinggal, menyeret dirimu paksa ke alam lain, dan sebagainya." Jinjoo terhenti sejenak dari kegiatannya menyortir kartu, ia berpikir, kemudian menoleh ke arah Seokjin sejenak. "Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian--atau kau memang tidak bertanggung jawab. Yang aku tahu, wanita tersebut pantas untuk tidak ditinggalkan serta-merta tanpa salam, setelah ia ditinggal mati di depan mata."

Seokjin tidak menjawab. Tubuhnya melayang mengitari si wanita kemudian duduk di bangku paling pojok ruangan. Seokjin ingin menghindari pandangan Jinjoo, kendati wanita tersebut juga tidak lagi berusaha untuk menyeretnya ke dalam pembicaraan maupun mengacuhkannya--ya, si Shaman lebih suka menata ulang ruangannya yang berantakan sehabis dipakai ritual.

Masalahnya sekarang bukan lagi Seokjin yang tak ingin menghindari Sara, kalian tahu 'kan? Namun bagaimana kalau tubuhnya saja tak dapat dilihat dan ucapannya tak bisa didengar. Ia bak partikel udara yang melayang-layang di sekitar Sara; dekat, tetapi terbaikan; bersentuhan, namun tak berarti. Jadi tolong jelaskan pada Kim Seokjin bagaimana dirinya bisa kembali mencapai wanita yang tinggal di dunia yang berbeda dengannya?

"Ini."

Serta-merta punggung Seokjin seperti disetrum mendengar vokal Jinjoo yang tiba-tiba terkesan begitu dekat diiringi dengan gebrakan meja. Lelaki tersebut mendongak demi melirik netra Jinjoo, kemudian beralih menuju kantung kecil yang kini teronggok di atas meja; tidak paham apa tujuan Jinjoo menyeretnya dari lamunan untuk memberikan benda tersebut. Apa untuk mempercepat proses kepergiannya atau--

"Aku menyelipkan jimat pasangannya di tas Sara; entah ia sudah menyentuhnya atau menghirup isinya. Yang pasti esok malam kau cuma perlu hadir di sana,"--Jinjoo menunjuk meja bertaplak merah tempat Seokjin kedua kali bertemu dengannya, sekaligus titik di mana ritual pemanggilan arwah sering dilakukan--"genggam jimatnya. Dan kau bisa masuk ke dalam mimpi mantanmu itu. Akan tetapi waktunya cuma sedikit, jadi manfaatkanlah dengan baik. Paham?"

Jujur, Seokjin tidak mau keliatan seperti bocah yang baru dikasih permen, namun ia tidak bisa menghindari kedua ujung bibirnya yang naik tanpa bisa dikontrol. Well, jangan salahkan musim semi yang tiba-tiba merebak di hati Kim Seokjin; sekarang ia punya harapan! Lelaki tersebut menggenggam kantung yang diberikan Jinjoo dengan erat, kemudian ia mendongak.

"Terima kasih. Aku tidak bagaimana caranya membalas budimu, tapi terima kasih--mungkin kalau kau mau aku bisa buat onar di beberapa rumah biar mereka datang ke sini."

"Cepat pergi saja, Setan." Jinjoo menaikkan satu ujung bibirnya. "Tempat ini untuk urusan bisnis bersama hantu dan keluarganya, bukannya tempatmu menginap sepanjang minggu."

Kekeh rendah Seokjin refleks menguar mendengar ucapan sarkas Jinjoo. Kemudian ia mengingat sesuatu dan ekspresinya langsung berubah kelam--bukan karena persoalan buruk, cuman tidak enak saja meminta hal aneh-aneh lagi pada si wanita aneh. "Boleh aku minta tolong satu hal lagi?"

"Aku bisa rugi tahu kalau membantu setan tanpa timbal balik."

Seokjin menggaruk kepalanya sembari menampilkan gurat memohon. "Please."

"Oke, tapi bawa dua pelanggan ke sini."

🌕🌗🌑

Chapter 9 will be the last chapter (I hope, doakan aku nulis gak manjang-manjangin lagi karena yang sekarang udah nambah 2 chapter dari plan awal 😂). Thank you for your support, luv ❤️

Blurred LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang