"Kau masih belum menyadari apa yang tengah kau lakukan, Kim Seokjin?"
Bisa saja Seokjin memorak-porandakan seisi rumah ini, menghilangkan bisnis serta sumber penghidupan milik Jinjoo. Tetapi manik cokelat--yang hampir sewarna arang--menghentikan kemauannya; ada rahasia di sana, sebuah rahasia yang bisa jadi membuat hati Seokjin kembali tertohok.
Lantas atmosfer berubah hening.
Detik-detik yang panjang dilalui hanya dengan saling tatap; Seokjin masih menanti apa yang ditawarkan pengganggunya, sedangkan Jinjoo tengah menyortir beberapa lembar dokumen di atas nakas. Wanita tersebut berjalan mendekat kembali, mengabaikan rambut cokelat ikalnya yang awut-awutan sehabis mengacak meja. Lalu lembaran berisi foto monokrom serta paragraf-paragraf yang tercetak dengan tinta hitam hadir di jarak pandang Seokjin; hasil print dari portal berita di online.
Seokjin mengernyit sebelum melarikan jemarinya ke atas lembar tersebut.
Rinai hujan masih menemani gelapnya malam di Seoul pada fotograf tersebut. Seokjin kembali diseret pada kejadian beberapa minggu lalu; tatkala nyawa seseorang perlu mati atas kebodohannya.
Pendar lampu mobil membias dengan tetesan air, membuat langkah Seokjin kadang tersendat karena silau yang mengagetkan. Dalam keadaan gerimis seperti ini perlu keahlian khusus agar tidak tergelincir di jalan raya. Seokjin jelas sudah menguasainya semenjak pindah kantor—pulang malam jadi rutinitas, kadang-kadang harus diguyur hujan juga.
Masalahnya ia tak tahu apakah Sara mengerti konsekuensi dari setiap langkahnya di malam buram dan lalu lintas ramai macam ini. Gadis tersebut sedang setengah gila karena Seokjin menyuruhnya untuk menggugurkan janin yang dikandungnya—pun tololnya Seokjin, ia baru merasa bersalah setelah dua menit berdiam di depan apartemen Sara. Sekarang ketika kakinya telah berlari selama lima menit, ia baru menangkap presensi gadis yang cukup kuyup mengenakan gaun merah bercorak bunga.
"SARA!" panggil Seokjin. "SARA!"
Rambut hitam legam tersebut mengayun, sementara manik Sara menemukan presensi yang ia hindari setengah mampus. Tanpa sebuah balasan kata apa-apa lagi, Sara langsung memacu kakinya melewati kubangan air—tak peduli gaun kesayangannya kotor atau apa. Dan tak peduli seberapa buram dunia dari pandangannya lantaran air hujan yang terus turun, Seokjin mengejar kekasihnya. Kendati demikian ia terus berlari, lari, dan lari tanpa kenal kenal lelah menyelinap di tengah kerumunan demi mendapatkan Sara.
Lampu pejalan kaki berubah hijau dan sekumpulan manusia menyeberangi jalan.
"SARA!" panggil Seokjin sekali lagi.
Sara menoleh sejenak ke belakang, menemukan Seokjin yang berada di pinggir jalan dengan napas terengah. Entah rasa apa yang bercokol di hatinya; mungkin antara benci, takut, marah dan sedih. Semuanya berbaur menjadi satu yang membawa air mata mendobrak pelupuk Sara sedari tadi, sekaligus membuatnya ingin menggapai Seokjin yang ringkih. Kemudian ia didorong oleh seorang lelaki dari belakang, kemudian oleh beberapa pejalan kaki—dan tubuhnya terus dipaksa maju sebelum lampu penyeberangan jalan berubah warna.
Tungkai Sara memijak sisi seberang, lampu telah berganti merah. Sara berpusing, mencari kembali presensi ayah dari calon anaknya; ia pikir Seokjin akan menunggu, ia pikir Seokjin akan lebih rapuh lagi. Namun lebih dari semua itu Sara membelalakkan matanya kelewat terkejut melihat keadaan Seokjin sepersekon setelahnya. Lengkingan frustrasi, takut, dan pilu Sara mengoyak malam; menjadi satu yang mengisi rungu Seokjin sebelum hening absolut menyergap.
Kemudian lembar berita tersebut lolos dari jepit jemari Seokjin.
"Kau sudah mengerti?" Suara Jinjoo kembali membawa Seokjin ke masa kini. "Aku tidak meminta Sara pergi dari sini, Tuan. Aku memintamu untuk meninggalkannya—kecuali kau ingin mantanmu menjadi mangsa para jiwa yang rindu kehidupan."
🌕🌗🌑
KAMU SEDANG MEMBACA
Blurred Line
Fiksi Penggemar[Completed] Ada dua hal menarik semenjak perpisahan mereka. Pertama, setelah tak sadarkan diri selama satu malam, Seokjin bangun dengan indra yang sangat baik dan bertambah; sedikit makhluk halus menemani rutinitasnya. Kedua, mereka benar-benar berp...