9. Closure

999 189 16
                                    

"Waktumu tidak lama, kau perlu ingat itu," ujar Jinjoo sembari menggenggam kedua tangan Seokjin yang duduk di seberangnya. Ia menunggu si lelaki mengangguk sebelum melanjutkan, "Kalau begitu pejamkan mata."

Yang diingat oleh Seokjin adalah kegelapan selama beberapa saat bersamaan dengan rapalan frasa yang tidak dapat ditangkapnya. Sejenak angin berdesir menyapu Seokjin. Ingin ia membuka mata, namun gerakannya tertahan oleh genggaman tangan Jinjoo yang terasa erat, kemudian kelamaan sentuhan tersebut memudar hingga tinggal fana.

Lantas ia dapat merasakan segalanya.

Seokjin terkejut sampai-sampai matanya membeliak, kepalanya berputar demi dapat melihat seluruh sisi dalam ruangan ini; kamar Sara, tempat tidurnya, dan Sara. Ya, ada Sara di depan matanya, terlelap dengan sisa pedih yang terjerat di wajah. Dan Seokjin tidak bisa mengontrol tubuhnya untuk tak gemetar juga terenyuh di saat yang bersamaan; ingin menangis atas bahagia pula takut.

Perlahan jemari Seokjin naik ke pundak Sara, membangunkan wanita tersebut.

Sara membuka mata perlahan seolah bangun dari mimpi buruk—kendati ia tak yakin sejatinya telah terbangun atau belum. Tubuhnya berputar, pun sekonyong-konyong sejuta rasa seperti petasan yang menyimpan berbagai warna meledak dalam dadanya. Jantungnya berpacu, ia bangun, dan mulai menatap Seokjin dengan mata melotot.

Ya, itu Seokjin.

"Seokjin, kamu kembali? Ini nyata?"

Ayo mengangguk, Sara ingin berkata seperti itu biar kuncup harap di otaknya tak langsung melayu. Tetapi Seokjin tidak setuju. Lantas membuat Sara putus asa sekaligus kebingungan. Apa ia sudah mulai gila?

"What is it ...?" Sara melihat sekelilingnya; ya, ini kamarnya. Hanya saja cuma mereka berdua yang terduduk di atas kasur yang dapat ditangkap netranya dengan jelas. Sisanya membaur, seolah refleksi dari kamera yang tak dapat menemukan fokus; bias, kabur, tak tergapai. "This is just a dream?"

"Beberapa hari kamu berteman dengan arwah; sekarang kamu meragukan semesta untuk sekadar mengirimku untuk menemuimu di mimpi?"

"Jadi ini bukan mimpi?"

"It is." Seokjin tertawa sampai matanya membentuk sabit yang manis—sabit yang pernah membuat Sara menyunggingkan senyum tak sadar. "Namun bukan sebuah mimpi yang sederhana."

"Jadi mimpi seperti apakah ini?"

"Bunga tidurmu di mana aku ingin meminta maaf." Kurva di bibir Seokjin yang besar libas, bahagianya hilang, dan digantikan oleh banyak rasa bersalah bersama dengan secuil lengkung labium yang canggung. "Maaf karena telah pergi tiba-tiba; di persimpangan jalan dan—yang kedua kalinya—saat aku kabur begitu saja tanpa kata perpisahan. Maaf juga telah jadi seorang pengecut yang tidak mau menerima calon anak kita, maaf harus membuatmu berlari di tengah rintik hujan d-dan hampir mati karenanya.

"A-aku berharap kau mau mencoba memaafkanku, tidak harus sekarang karena aku memang t-tak pantas untuk—"

Sara menggeleng. Dan retak bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Seokjin; ia seolah jadi burung yang terjatuh dari sarang pun kini sayapnya patah sudah. Seokjin takut tidak dimaafkan, dibenci, kemudian ia akan terus bergentayangan tak tentu arah dengan hati yang teremas setiap saat.

Namun Sara selalu punya sedikit kejutan.

Jemari lentiknya yang seputih dan sesuci salju jatuh di atas pipi Seokjin, datang untuk mengusap satu butir air mata yang berniat turun. Kemudian kurva Sara datang—yang magis, lembut, penuh maaf—membuat kening Seokjin berkerut kecil, sementara berat dalam dadanya mulai menguap.

Blurred LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang