Terlahir menjadi perempuan biasa, rasanya banyak kata mustahil untuk mendapatkan sesuatu. Bahkan, sekadar mendamba saja perlu dipikir ulang untuk itu. Anehnya, harap itu selalu menghampiri, layaknya rasa lapar yang patut dipenuhi ketika ia minta untuk diberi nasi.
Perkenalkan, namanya Kanaya Febiola. Sebagian orang memanggilnya Nay, tapi ada juga yang memanggilnya Febi. Bahkan dengan percaya dirinya, dia menjuluki diri sendiri sebagai putri bintang, konyol bukan? Itu unik baginya, coba saja kau bayangkan bagaimana bahagianya menjadi putri bintang—meskipun itu hanya sebuah khayalan; punya banyak dayang-dayang di langit dan yang pasti segala keindahan langit malam akan begitu hampa tanpa kehadiran bintang.
Sebagai anak terakhir yang terlahir dari rahim Ibu, segala kebutuhan dan apa pun yang ia inginkan tidak begitu lama akan terpenuhi. Bisa dibilang, keduanya sangat memanjakannya sejak dini. Persoalan ini tidak bisa disalahkan, jika dia tumbuh menjadi perempuan cengeng atau malah sebaliknya.
"Bi, tolong bilangin ke Mamah aku berangkat kuliah dulu ya."
"Iya, Kak. Nanti Bibi bilangin. Kakak mau naik ojek aja, gak dianterin Ka?"
"Enggak deh, Bi. Yaudah aku pergi dulu, dah Bi."
Kanaya Febiola merupakan salah satu perempuan yang bisa dibilang jenius, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta yang digandrungi banyak orang. Sebagai sosok yang mencintai persoalan-persoalan sosial, perempuan ini memilih untuk mendalami segala hal yang berhubungan dengan itu.
"Eh, Nay" sapa Rama.
"Iya?"
"Lo sendirian aja si"
"Ya, lagian mau sama siapa lagi?"
"Siapa kek gitu, pacar kek atau siapa kek."
"Halah, lo tuh kebiasaan. Ujungnya mesti ke sana. Gue bilang, gue masih belum mau pacaran."
"Yaelah, Nay. Biar gue gak direpotin lo terus hahaha."
Rama, sahabat satu-satunya Naya yang mengetahui segala kondisinya. Naya termasuk salah satu mahasiswi yang dikenal tertutup tapi ia selalu menutupi segala hal yang dirasa dengan berpura-pura ceria di depan siapa pun yang mengenalnya. Bukan tak mau untuk membuka diri pada semua orang, namun kekhawatirannya terhadap pengkhianatan lebih besar dibandingkan dengan kepercayaannya. Berbeda dengan Rama, Naya selalu menceritakan apa saja yang sedang mengganggu pikirannya, sehingga semuanya heran mengapa Rama sanggup berteman dengannya, mungkin karena hanya ia yang mampu mengerti Kanaya Febiola, tanpa memaksanya untuk berubah.
Hampir setiap hari dua orang ini menghabiskan waktunya bersama. Rama yang terlihat pecicilan ini bisa membawa dampak positif pada Naya. Betapa tidak, Nay yang selalu memikirkan apapun bisa melupakan sejenak bebannya jika bersama Rama.
"Ma, kapan ya gue bisa nemuin orang yang tepat?"
"Nah kan, apa yang gue bilang. Lo pasti mikirin soal ini juga."
"Mikirin sih, tapi sedikit"
"Elo mau yang kaya gimana Nay, nanti gue cariin deh"
"Yang enak dipandang mata, pas di hati, nyaman di pikiran"
"Ah, mana gue tau yang kaya gitu Naya"
"Katanya, lo mau cariin"
"Ya, yang jelas dong makanya"
"Pokoknya gue mau yang kaya gitu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki dan Seribu Puisi di Tubuhnya
Teen FictionSeandainya Tuhan memberikan aku satu kesempatan untuk menemuimu lagi dalam keadaan yang berbeda, tentu saja aku akan tetap menjaganya dengan baik, sampai kamu datang dengan perasaan yang sama untukku. Sungguh, aku tidak pernah paham tentang perasaan...