Selama ini, laki-laki bagi Kanaya hanya seperti segelas air putih. Yang sekadar menghilangkan haus tanpa meninggalkan kesan khusus yang mendalam. Begitu pula ketika cinta datang tanpa diminta oleh yang ingin memilikinya. Kanaya sang perantau kecil yang lama kesepian, ia juga satu dari beribu manusia di bumi ini yang selalu mencari kebahagiaannya seperti mencari sesuap nasi setiap hari.
Kanaya hanya seorang perantau kecil yang selalu gagal dalam hal mencintai. Bukan cinta dirinya yang gagal, tetapi cinta yang ada dalam diri orang yang dicintainya selalu saja tak terpaut lekat padanya. Setiap pagi dan malam, pekerjaan yang ia lakukan hanyalah membawa jiwanya menuju dimensi yang tak pernah ia beri tahukan pada siapa pun. Ia tidak pernah berterus terang pada dirinya, apalagi hatinya yang teramat kecil itu.
Getaran yang Nay rasakan teramat berbeda. Ia begitu terpesona sampai berhari-hari harus mencoba mengusirnya. Mengusir segala sesuatu yang kini ada di pikirannya. Apakah aku menyukainya semesta? Aku selalu diam-diam mencuri pandangan pada matanya yang pekat itu, senyuman manis itu masih teringat betul di benakku; bahkan cara dia berbicara, duduk, tertawa menjadi bagian yang paling aku sukai. Entah siapakah dia semesta. Lelaki itu begitu menarik, kata banyak orang ketika kita tertarik oleh sesuatu, akan ada rasa lain yang timbul untuk terus mendalaminya. Ah, ia seperti semua data-data penelitianku. Di tubuhnya terlihat beberapa sajak yang tak mampu kuutarakan. Ia terlahir dari puisi-puisi yang akan aku cari maknanya hingga selesai, katanya dalam hati.
Seperti senja yang tak pernah kehilangan indahnya, senja juga merupakan gambaran pertemuan yang mengesankan. Cahaya keemasan yang ada darinya berkilatan menembus apa yang tak mampu ditembus oleh pikiran, namun mampu membiaskan tatapan yang entah dari kejauhan mana lagi harus ditempuh. Cahayanya melesat-lesat. Membias di antara warna jingga mega-mega. Lukisan sang langit menaruh rapi wajahnya di sana, bagaikan digerakan sang ruang yang tak kunjung hilang.
Nay menatap matanya yang tak terlalu menyilaukan, sehingga bisa ditatap bagai menatap keindahan yang ditakutkan segera hilang, seperti kebahagiaannya yang direnggut waktu secara tiba-tiba.
"Nay," panggil Fani.
"Iya, Fan?"
"Lagi mikirin apa sih?"
"Emm, enggak ada sebenarnya. Tapi Fan, kamu tahu gak sih aku kemarin ketemu siapa?"
"Siapa?"
"Aku juga enggak tahu namanya siapa"
"Ya ampun Nay, kenapa gak ditanya aja sih?"
"Dari jauh aja udah keliatan indah banget Fan, apalagi dari deket"
"Halah, kalo ngomong sama kamu mesti sok puitis gitu"
"Hahaha, beneran Fani aku gak bohong"
"Yasudah, kalua besok ketemu, tanyakan namanya siapa"
"Enggak deh, kalo emang ada jalannya untuk kenal, pasti akan kenal sendirinya"
"Kamu itu...."
Kanaya bermain-main dengan imajinya. Ada sisa layang-layang di langit, bertaruh dalam kekelaman. Ada sisa-sisa lukisan wajahnya yang tampak seperti sedang bercermin di kaca. Bayangan lelaki itu tak berhenti-hentinya menghantui pikiran Nay yang selalu membuatnya tersenyum diam-diam.
Ada yang mencuri senyumku diam-diam. Jelas, kubiarkan saja dia pandai mencuri. Karena katanya, memang manusia diharuskan untuk pandai mencuri, mencuri hati yang terlalu berhati-hati, misalnya. Aku tak akan memilih diam ketika semesta telah merestui kita untuk saling bertatap muka. Akan aku tanyakan banyak hal tentangmu. Pahamilah, mengenalmu lebih jauh akan menjadi kebahagiaan tersendiri untukku. Aku senang mendengar apa saja yang kauceritakan. Perihal hidupmu, temanmu, atau apa yang kausuka, apa yang kau tak suka bahkan tentang masa lalu yang mungkin saja masih membekas hingga saat ini. Mendengarkanmu menjadi satu-satunya yang aku sukai saat ini, mungkin sampai nanti. Sampai di mana kau dan aku menyadari keinginan untuk saling memiliki.
Kesendirianku selama ini selalu memintamu lebih untuk mendekatkan diri. Menghangatkan yang sejak lama sengaja kudinginkan, dan memeluk erat yang sudah terkulai. Bertanya pada diri sendiri sudah menjadi teman baik untukku. Aku takut terlalu dalam menjelajahi dirimu, namun auramu mendorongku untuk tetap berjalan sampai aku harus berlari meskipun tak merasa kelelahan.
Obrolan singkat selalu menjadi jembatan panjang untuk percakapan kita. Saat itu, diri kita sama-sama egois, keinginan hati dan pikiran selalu bertolak belakang. Sampai akhirnya hati yang mengalahkan semuanya. Aku selalu saja kalah dalam permainan ini, rindu yang selalu membuatku ingin tahu apa kabarmu? Atau sedang apa kau sekarang? Ah, itu sungguh menyebalkan. Padahal nyatanya, aku terbentur oleh prinsip untuk tidak mendekatimu lebih dulu, hingga kau pun mengerti arti sebuah rindu yang kusajikan untukmu, kata Nay dalam hatinya.
"Nay?"
"Eh, apa?"
"Masih mikirin orang itu?"
"Hahaha, enggak Fan. Aku lagi mikirin penelitianku yang belum juga selesai."
"Halah, penelitian orang yang kamu lihat itu kan?"
"Tidak juga, tapi bisa jadi sih"
"Kau ini.."
Dan Bandung adalah tempat yang seketika menjadi tepat untuk Kanaya. Adanya kunjungan yang dilakukannya ke Kota ini menjadikan ia tahu perihal sosok yang masih belum ia ketahui sejak itu—sejak segala pandangan matanya tertuju pada senyuman yang terlontarkan dengan begitu manis dan tertata rapi. Sejak mata tajam ia tangkap dengan jelas dan raut wajah yang tak mampu Nay lupakan begitu saja.
Ketertarikannya ini menjadikan Nay kembali ingin menemukan sosok itu, entah di mana pun, kapan pun, atau dengan bagaimana pun caranya; Kanaya selalu berharap dapat bertemu dengannya lagi dalam kondisi yang berbeda.
Di kepalaku tetap saja kamu. Ada yang membawa ingatan baik tentangmu pada kepalaku, senyuman, lekuk tubuh, pemikiran dan segala hal yang menjadi titik di mana kamu terlihat istimewa—sungguh istimewa. Akankah aku mendapatkan kamu? Atau malah sebaliknya? Atau aku akan terluka lebih dalam dan kau akan melupakanku begitu saja? Ah, kenal saja belum; aku sudah mikir yang tidak-tidak. Tahu namanya saja tidak, semesta. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia, kata Nay lirih.
Tanpa Jeda
Aku mencintaimu tanpa jeda
Aku mencintai matamu, musim semi yang memekarkan Sakura dan Camellia
di bawah langit biru—sepanjang pinggiran jalan
atau di halaman kuil yang
menghanyutkanku
pada gulungan waktu dan memerinci satu
persatu peristiwa
Kemudian, bibirmu seperti kapal-kapal yang membawaku ke lautan menujumu
meski cuma sebentar
Kau dan aku, kekasih, adalah dua orang yang masih percaya pada cinta
Juga kehidupan yang dapat dan akan selalu tumbuh dari kematian
Cinta yang membawaku pada muatan koper yang telah dibuat dari kengerian belaka
Yogyakarta, 2017.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki dan Seribu Puisi di Tubuhnya
Teen FictionSeandainya Tuhan memberikan aku satu kesempatan untuk menemuimu lagi dalam keadaan yang berbeda, tentu saja aku akan tetap menjaganya dengan baik, sampai kamu datang dengan perasaan yang sama untukku. Sungguh, aku tidak pernah paham tentang perasaan...