9- Kenangan yang Menyulut di Kening

35 1 0
                                    


Pagi datang lagi, membangunkanku dengan kicauan burung dan mentarinya. Hari yang berbeda, waktu yang berbeda, namun tetap dengan perasaan yang sama. Dengan harap, ada pesan yang masuk ke ponselku walau hanya sekadar mengucapkan 'Selamat Pagi' namun ternyata tak ada, ucap Nay lirih.

Masih dalam kebiasaannya, Kanaya yang memang bisa dibilang kutu buku ini selalu mengegeletakkan buku di mana-mana—ada yang tergeletak di kasurnya, meja bacanya, di atas televisi, bahkan masih ada yang tergeletak di bawah selimutnya seperti saat ini. Entah mengapa, kebiasaan buruknya itu sulit ia hilangkan. Walau setelahnya akan ia bereskan sendiri hingga tertata dengan rapi. Kata mereka—manusia bumi, hidup ini akan hampa tanpa membaca buku. Pikiran kita tak akan satu langkah lebih maju, jika tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Nay tak akan bosan hidup berdampingan dengannya. Menurutnya, buku membuatnya hidup. Buku juga bisa nengantarkannya untuk melihat dunia luar, dan hidupnya seperti pada bab-bab yang ada di sana, terus berlanjut sampai cerita itu selesai.

Lagi-lagi, imajinasi membawa Nay jauh dari planet bumi. Menjauhkan Nay dari realitas yang semakin kencang berlari ketika dihampiri. Ibaratnya seperti ini, Nay yang sibuk mengejar, tetapi yang dikejarnya justru menghindar. Namun Nay tidak pernah lelah, selalu santai bahkan justru menikmati prosesnya. Tiba-tiba saja ponsel Kanaya berdering dan sedikit membuatnya kaget.

"Selamat pagi, mungil"

Ah, Langit, gerutunya.

"Selamat pagi, Langit"

"Ayo bangun, ada mawar untukmu di depan pintu"

"Sungguh? Lagi?"

"Iya, sampai tukang bunga itu bosan mengirimkannya"

"Mana ada tukang bunga bosan, justru dia senang karena bungannya laris"

"Hahaha, itu kau tau. Sana keluar"

"Baiklah, terima kasih Langit"

Seperti apa yang Langit perintahkan, Nay kini sudah berada di ambang pintu—dan benar ada rangkaian bunga mawar untuknya di sana. Lagi-lagi Nay menantinya seperti menanti cahaya; tak menyerah walau langkahnya melemah. Nay tahu, ia tidak sendirian; ada Langit di sana. Meskipun ia jauh, namun bagi Nay sosoknya terasa begitu dekat.

Di sudut paling sunyi, Kanaya selalu meyakini kata hatinya bahwa Langit akan datang. Karena Nay tahu dirinya dan Langit adalah dua pemimpi besar. Langit akan mengejar impiannya, walau jika suatu saat semesta berkata lain dan yang dikejarnya bukanlah Kanaya; baginya tak mengapa. Kanaya akan tetap menungggu impiannya, karena Langit pantas untuk semua pengorbanan.

Jika berbicara soal pengorbanan memang tidak dapat Nay jelaskan secara gamblang. Nay selalu berpikir, sebuah pengorbanan yang dilakukannya untuk Langit bukanlah menjadi sesuatu yang harus ia ceritakan pada banyak orang; cukup dirinya dan semesta yang tahu.

Akhir-akhir ini, kalimat yang selalu Nay tanamkan pada dirinya adalah 'menjadi diri sendiri itu penting', walau terasa klise. Nay yang memang cukup pintar ini, selalu saja bisa mengendalikan segala hal yang memperumit dirinya, kecuali jika itu berkaitan tentang Langit. Memang, begitu berpengaruhnya Langit untuk hidup Nay tidak lagi perlu diragukan. Namun, hal demikian tidak membuatnya terus bergantung dengan Langit biru di Kota Malang itu.

"Bi, hari ini aku mau ke kampus"

"Dijemput Mas Rama, Kak?"

"Kayanya aku bawa mobil sendiri aja deh, Bi. Sekalian mau ke toko buku nanti"

Lelaki dan Seribu Puisi di TubuhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang