Lama, kedua remaja itu bertatap muka dengan tangan terlipat di bawah dada. Di pinggir lapangan basket, di bawah terik mentari sore.
“Gue bakal bantu lo, asalkan lo mau nurutin perintah Pak Jaka buat belajar ke gue.” Juna membalikkan tubuh, berjalan menuju kursi panjang di pinggir lapangan. Sementara Firda masih terdiam di tempatnya, tampak tengah berpikir.
Juna mengeluarkan buku dan bulpoint dari dalam tas kemudian menyobek bagian tengah bukunya. Tangan lelaki itu lantas menari di atas kertas, menulis sebuah pernyataan di sana.
Firda mendekat, mengambil tempat duduk di sebelah Juna. Gadis itu sesekali melirik sesuatu yang tengah Juna tulis. Sengaja ia berdehem untuk mengambil alih fokus Juna, tapi tak berhasil.
“Mmm, oke gue mau. Tapi lo harus bener-bener bantu gue!”
Juna menarik sedikit kedua ujung bibirnya bersamaan dengan selesainya tulisan yang ia buat. “Keputusan yang bagus. Tanda tangan gih!” Juna menyodorkan kertas serta bulpointnya pada Firda.
Firda manaikkan sebelah alisnya. “Apaan?”
“Surat perjanjian.”
Pecah tawa Firda saat itu juga. Ia menyerobot kertas di tangan Juna, memandangnya dengan tatapan jijik. “Lu norak banget, anjir. Nggak nyangka gue masih ada spesies Dilan di tahun dua ribuan.”
“Nggak nyangka gue cewek macem lo tau si Dilan. Udah buruan, nggak usah kebanyakan ngejek!”
Firda mencebik. Tak ingin memperpanjang urusan, akhirnya ia menandatangani surat yang Juna buat kemudian mengembalikannya pada lelaki itu.
“Oke, gue bakal simpen ini. Kalau lo berani ngelanggar perjanjian, seperti yang ditulis di sini, lo harus terima hukuman.”
“Ahh, serah lu deh.” Firda bangkit dari duduknya lantas berlalu meninggalkan Juna. Namun baru tiga langkah, gadis itu berhenti. Membalikkan tubuh seraya mengacungkan telunjuknya pada Juna. “Gue bakal kasih tau rencana pertama besok. Kita ketemu di warung belakang pulang sekolah!”
Usai mengucapkan itu, Firda melanjutkan langkahnya. Sementara Juna menghela napas pelan. Menyandarkan tubuh pada kursi yang ia duduki. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman kecil. Ia tak pernah menyangka Firda datang padanya meminta bantuan. Mungkin gadis itu memang benar-benar tak punya teman.
Namun, Juna tak masalah. Justru ia pikir akan lebih mudah melaksanakan perintah Pak Jaka saat Firda mulai memberi ruang padanya.
***
“Kamu belum juga menemui Luna? Sudah Papa katakan, minta maaf ke Luna! Apa perlu Papa menyeret kamu hanya untuk minta maaf pada saudaramu sendiri?”
Firda masih bergeming di tempat saat suara itu terdengar, diiringi gedoran sang ayah pada pintu kamarnya. Sudah larut, tapi marah papanya tak jua surut. Firda menghela napas, lantas membuka pintu kamar. Wajah dingin Hardi menjadi obek pertama yang ia lihat. Tatapan itu seakan siap membekukannya. Ia tak suka.
Firda tersentak saat sang ayah meraih tangannya. Membawanya memasuki kamar milik Luna. Di sana, gadis yang begitu ia benci tengah merebahkan tubuh di atas ranjang. Ditemani wanita paruh baya yang mana adalah ibu kandungnya.
Ada memar di tangan Luna, Firda tau itu salahnya. Tak sengaja kemarin ia menghempas tangan itu hingga Luna terjatuh dari tangga. Semua tampak baik di mata Firda. Ia pikir itu tak sebanding dengan tamparan dan makian yang ia dapat dari ayahnya.
Luna mengubah posisinya menjadi duduk lantas melempar senyum pada Firda. Namun, tiada balas. Firda justru membuang muka.
Hardi memberi isyarat pada Firda untuk segera meminta maaf. Pria itu bahkan harus menuntun tangan putrinya untuk berjabat. Perlahan, Firda menujukan tatapan pada Luna sebab gadis yang lebih muda setahun darinya itu membalas jabatan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday, Somehow✔️
Novela JuvenilKadang apa yang dilihat sebagai hal baik, belum tentu nyatanya demikian. Juna pernah berharap bahwa dengan pergi, ia akan menemukan kebahagiaan. Namun, justru lukanya kian melebar, hingga membuatnya benar-benar tak tahu bagaimana rasanya berbahagia...