Terhitung sudah satu jam lebih Arkan menunggu Juna di tempat yang lelaki itu janjikan. Namun, tiada sedikit pun tanda-tanda kedatangan Juna hingga restoran yang Arkan datangi hampir tutup.
Arkan menghela napas panjang, diembuskannya dengan kasar. Lagi-lagi dirinya kecewa. Semesta benar-benar seperti sedang mempermainkannya. Lelaki itu berdiri dari tempat duduknya semula, berniat pergi. Namun, sebuah perbincangan menyelusup ke indra pendengaran, membuat langkahnya tertahan.
“Juna di rumah sakit. Gue barusan dapat kabar dari temannya. Kenapa lagi sih tuh anak?”
Arkan membalikkan tubuh, lekas menghampiri seorang waiter restoran yang baru saja membicarakan Juna. Lelaki itu tersenyum canggung saat dua orang di balik meja bar menatapnya penuh tanya. “Maaf, Juna yang Anda maksud tadi Juna siapa, ya?”
Pertanyaan Arkan tak lantas mendapat jawab. Hingga beberapa detik berselang, lelaki di hadapan Arkan tersebut berkata, “Arjuna … Arjuna siapa sih namanya, lupa. Arjuna pokoknya. Kenapa, Mas?”
“Dia di rumah sakit mana?”
Kedua alis waiter itu bertaut. Bingung dengan orang asing yang tiba-tiba datang dan menanyakan perihal Juna. Namun, sebab berasumsi jika Arkan adalah teman Juna, ia menjawab, “Permata Medika.”
“Oke, makasih.” Arkan lekas keluar. Menunggu taksi untuk membawanya ke rumah sakit, hingga tak berselang lama taksi itu datang.
Arkan tak bisa tenang di dalam kendaraan yang ia tumpangi, takut sebab telah berjalan sejauh ini. Apalagi mengingat kepergiannya yang tanpa pamit. Arkan rasa, saat ini orang-orang di rumahnya tengah kelimpungan mencari.
Arkan menilik jam di pergelangan tangan. Bertambah gelisah saat didapati jarum pendek hampir menyentuh angka sepuluh malam. Namun, Arkan mencoba untuk tenang.
Tak butuh waktu lama untuknya sampai di depan gedung rumah sakit. Usai turun dari taksi, Arkan tak langsung menuntun sepasang kakinya melangkah. Sebab, suara berat seorang lebih dulu menghentikan pergerakannya. Ia menoleh ke samping. Mendadak Arkan kehilangan kata kala mendapati sosok sang ayah di sana.
“Jadi, begini kelakuan kamu kalau Ayah enggak di rumah?” Dirga mendekat bersama dua orang pengawalnya, membuat nyali Arkan menciut. Lelaki itu menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa jika ayahnya bertanya tujuannya berada di sana.
“Kamu sama sekali enggak pandai kabur, Arkan. Buat apa kamu ke sini?”
“Arkan ... mau ketemu sama seseorang.”
“Masih ada besok. Cepat masuk mobil, pulang!” Sirat kemarahan jelas tergambar dalam raut pria paruh baya itu. Tentu Dirga begitu marah saat mendapat kabar Arkan tak ada di rumah, padahal dirinya baru saja pulang dari tempat bekerja. Oleh sebab itu, ia segera turun tangan dan melacak keberadaan putranya.
“Tapi, Yah—”
Dirga mengangkat sebelah tangannya, mengisyaratkan agar Arkan diam. Lantas, pria itu berbalik menuju mobil setelah meminta dua pengawalnya membawa Arkan.
***
“Kamu teman Juna?” tanya pria berjas dokter itu seraya memandang seorang remaja yang duduk di kursi depan meja kerjanya. Dapat ia tangkap raut gelisah di wajah Kevin sejak baru saja lelaki itu memasuki ruangannya. “Jangan gugup, santai saja dengan saya.” Sandy mengukir senyum, berharap dapat melebur rasa gugup seorang di hadapannya.
“Iya, Dok. Saya satu kos dengan Juna. Kita berteman sejak masuk SMA.”
Sandy mengangguk. “Kamu bisa menghubungi keluarga Juna? Dia butuh pendamping. Sejak pertama kali saya bertemu Juna, dia seperti benar-benar hanya ingin melakukan semua sendiri. Katanya tidak punya wali. Apa benar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday, Somehow✔️
Ficção AdolescenteKadang apa yang dilihat sebagai hal baik, belum tentu nyatanya demikian. Juna pernah berharap bahwa dengan pergi, ia akan menemukan kebahagiaan. Namun, justru lukanya kian melebar, hingga membuatnya benar-benar tak tahu bagaimana rasanya berbahagia...