Juna kembali menutup mata saat sorot cahaya di ruangan serba putih itu teramat menyilaukan. Ia mengerjap pelan untuk menormalkan pandangan, sampai akhirnya menyadari ada seseorang di sampingnya, memandangnya dengan wajah cemas.
“Le?”
Panggilan berlogat Jawa itu tak asing bagi Juna. Setelah sadarnya terkumpul sempurna, ia mencoba untuk mengubah posisi menjadi duduk. Namun, sebuah tangan memaksanya untuk kembali berbaring.
“Sudah tiduran saja, kondisi kamu masih lemah begitu,” ucap wanita paruh baya di samping ranjang Juna dengan wajah yang masih sarat akan kecemasan. “Kenapa bisa pingsan? Kalau sakit mbok yo bilang to, Le.”
Bibir pucat Juna mengulas senyum. “Juna nggak papa kok, Bu.”
“Nggak papa bagian mananya sampe dokternya bilang kamu bisa mati kalo nggak cepet dibawa ke sini?” Ajeng—ibu pemilik indekos yang Juna tempati itu memukul pelan lengan Juna. Juna menggigit bibir bawah, meski pelan tetap saja rasanya menyakitkan. Apalagi tak tanggung-tanggung Ajeng memukul bagian lengannya yang tertancap infus.
“Maaf, Bu.”
Ajeng menghela napas. Sungguh, malam tadi ia begitu terkejut saat Kevin datang ke rumahnya dan berkata bahwa Juna sekarat. Andai kondisi memungkinkan, sebenarnya Ajeng ingin menyumpal mulut Kevin yang bicara tanpa saringan. Namun melihat anak itu begitu kacau, Ajeng ikut merasa cemas yang luar biasa.
Ajeng sudah menganggap Juna dan Kevin seperti anaknya sendiri. Meski di antara kedua remaja itu, ia lebih menaruh beribu-ribu rasa sayang pada Juna. Alasannya sederhana, Juna hanya tak seperti kebanyakan anak muda lain di matanya. Anak itu seolah punya daya tarik yang tak pernah ia temukan pada anak manapun.
“Sesuk-sesuk, kalau sakit bilang! Ibu sampe mau ikut pingsan liat kamu kayak semalem iku loh.”
Juna mengangguk seraya tersenyum. Logat campuran Ajeng tak pernah gagal membuatnya ingin tertawa.
Teringat kejadian semalam, mata Juna meliar mencari keberadaan Kevin.
“Kevin nggak di sini, Bu?”
“Ibu suruh pulang tadi. Bar ngopo to, Cah? Wajah sampe lebam-lebam begitu si Kevin. Berantem?”
Juna terdiam, bingung harus menjawab apa. “Anu, Bu. Ada masalah sedikit, tapi udah selesai kok.”
Ajeng mengangguk percaya meski nyatanya ragu. Ia rasa bukan waktu yang tepat membanjiri Juna dengan bermacam pertanyaan untuk saat ini.
“Yo wes, Ibu pulang sek yo, ada kerjaan. Nanti biar Hilda yang nemenin, dia lagi di luar beli makan.”
Juna mengangguk. Ajeng menepuk bahu Juna sebelum meninggalkan ruangan anak itu.
Setelah kepergian Ajeng, Juna sibuk berperang dengan pikirannya. Sibuk menghitung sampai kapan ia bisa bertahan. Ia tak pernah berpikir akan selemah ini pada akhirnya. Bahkan semakin lama ia semakin tak bisa menahan sakit yang terus-terusan datang menghajar tubuh. Sungguh Juna belum siap jika Tuhan memanggilnya kembali.
***
Gadis itu berdecak kesal saat lagi-lagi panggilannya tak mendapat balas. Bahkan pesan yang ia kirim sejak kemarin belum ada tanda-tanda penerimanya membaca. Firda mendaratkan tubuhnya di kursi halaman belakang sekolah dengan kasar. Sementara pikiran gadis itu tertuju pada Juna yang sejak tiga hari lalu sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya di sekolah.
Entah perasaan apa yang membuat Firda sefrustasi itu hanya karena ketiadaan Juna. Namun, berkali-kali gadis itu menepis anggapan jikalau dirinya mengkhawatirkan Juna. Sekuat mungkin ia tanamkan pikiran bahwa ia bisa segusar itu, hanya karena Juna masih mempunyai hutang janji padanya untuk mengerjai Gio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday, Somehow✔️
Novela JuvenilKadang apa yang dilihat sebagai hal baik, belum tentu nyatanya demikian. Juna pernah berharap bahwa dengan pergi, ia akan menemukan kebahagiaan. Namun, justru lukanya kian melebar, hingga membuatnya benar-benar tak tahu bagaimana rasanya berbahagia...